pencegahandan pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni antara lain sebagai berikut: a. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme tentunya mempunyai peran yang sangat penting
โ€บ Opiniโ€บBahaya Laten Korupsi Sudah saatnya negara kita menetapkan korupsi sebagai bahaya laten yang dapat mengganggu terwujudnya tujuan negara, seperti yang disampaikan Ketua KPK pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia. OlehPangeran Toba Hasibuan 6 menit baca BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/MUCHLIS JR Presiden Joko Widodo memberikan kata sambutan saat menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia secara virtual dari Istana Negara Jakarta, Rabu 16/12/2020. Dalam sambutannya, Presiden meminta adanya pengembangan budaya antikorupsi dan menumbuhkan rasa malu menikmati hasil korupsi dan memperluas pendidikan antikorupsi untuk melahirkan generasi masa depan yang antikorupsi. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya membangun sistem yang menutup peluang terjadinya tindak pidana korupsi pentingnya peningkatan transparansi dan akuntabilitas lembaga pemerintahan. Acara itu juga diselenggarakan di Gedung Juang Komisi Pemberantasan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun 2020 yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu 16/12/2020, terasa sepi. Presiden Joko Widodo hadir secara virtual didampingi Menko Polhukam Mahfud MD Kompas, 17/12/2020. Pada acara tersebut dicanangkan Aksi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi saat ini merupakan momentum pemberantasan korupsi, saat ada dua menteri yang berturut-turut menjadi tersangka KPK. Jadi, seharusnya acara peringatan ini dihadiri semua menteri dan juga pemimpin lembaga, meski secara virtual, sebagai komitmen antikorupsi. Apalagi acara bertema โ€Membangun Kesadaran Seluruh Elemen Bangsa dalam Budaya Antikorupsiโ€. Masih segar dalam ingatan, ketua umum partai politik tempat Menteri Kelautan dan Perikanan bernaung pernah mengatakan, dirinya akan mengantar sendiri kadernya ke penjara jika ketahuan korupsi. Presiden juga mengatakan agar jangan mengorupsi dana penanganan Covid-19 ketika berpidato di hadapan para kedua menteri tidak mengindahkan. Menteri Sosial dalam suatu tayangan wawancara yang sempat viral juga menegaskan bahwa dirinya dan anak buahnya tidak akan korupsi. Pimpinan KPK pun sudah pernah mengingatkan Menteri Sosial agar berhati-hati dalam pelaksanaan bantuan sosial Kompas, 7/12/2020.Alangkah geram dan muak ketika melihat kedua menteri itu tetap korupsi. Keduanya sudah mengkhianati negara dan rakyat, layak dihukum kita secara prinsip sangat antikorupsi, perangkat hukum melalui UU tidak perlu diragukan lagi. Bahkan, lembaga khusus lengkap tersedia untuk mencegah dan memberantas memberikan efek jera, KPK mengenakan rompi khusus dan memborgol tersangka, tetapi perilaku koruptif masih berlangsung masif. Seakan tidak ada lagi perasaan malu bahkan terhadap keluarga. Apakah ini akibat sifat bangsa ini yang terlalu mudah melupakan?Sudah saatnya negara kita menetapkan korupsi sebagai bahaya laten yang dapat mengganggu terwujudnya tujuan negara, seperti yang disampaikan Ketua KPK pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia peringatan Hari Antikorupsi diwajibkan di semua kementerian ataupun lembaga, dari pusat sampai daerah. Demi membangun budaya Toba HasibuanSei Bengawan, Medan, Sumatera Utara 20121Dua Anak YogyaYogyakarta ternyata punya dua anak. Seorang bernama Yogya Istimewa dan saudaranya Yogya โ€tidakโ€ Istimewa adalah sebutan untuk Tugu Yogya. Area yang selalu direnovasi atau direvitalisasi, yang menurut hemat saya pekerjaan bongkar-pasang tersebut tidak pernah ada kata akhir. Entah berapa besar biaya untuk make over si anak siapakah yang bernama Yogya โ€tidakโ€ Istimewa? Itu sebutan untuk Tempat Pengolahan Sampah Terpadu TPST Piyungan. Jika kita tanya mbah Google, TPST Piyungan sering ngambek karena tidak dia sudah ngambek, semua warga Yogya akan mencium bau sampah. Yang menumpuk di pojok-pojok pasar, tepi-tepi jalan, dan tanah-tanah Tidak perlu studi banding jauh-jauh ke luar negeri. Cukup ke tetangga sebelah, yaitu Malang. Temui Pak Supadi, angkat menjadi konsultan TPST Supadi adalah perintis, Direktur dan CEO dari Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu TPST Mulyoagung-DAU, Malang. Bahkan, orang-orang dari luar negeri datang untuk belajar manajemen ini sukses dalam mengelola sampah. Menjadikan sampah produk-produk yang mempunyai nilai jual, seperti pupuk, pakan lele, kardus bekas, dan botol adalah peraturan daerah yang mengatur pemilahan sampah, mulai dari rumah tangga hingga tempat usaha. Jika nantinya sudah menjadi budaya, penanganan sampah akan semakin mudah, terbentuk jaringan perekonomian baru ini akan lebih bergaung apabila ada kolaborasi dengan perguruan tinggi. Semoga Yogya istimewa MaduriantoJalan Pugeran Barat, Yogyakarta, 55141Tanggapan KLHK 1Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Permen LHK Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate adalah pedoman regulasi penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate adalah program strategis nasional untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Dalam konteks kebutuhan lahan dari kawasan hutan, mekanisme sesuai peraturan perundang-undangan, seperti perubahan peruntukan kawasan hutan atau penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan KHKP.PEMKAB HUMBANG HASUNDUTAN Rencana lokasi lahan food estate Humbang pemanfaatan kawasan hutan hanya dapat diajukan oleh pemerintah. Dalam hal ini menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota atau kepala badan otorita yang peruntukan untuk pembangunan food estate dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi HPK. Syaratnya harus melewati kajian tim terpadu, kajian lingkungan hidup strategis KLHS, menyelesaikan upaya pengelolaan lingkungan hidup UKL, dan upaya pemantauan lingkungan hidup UPL untuk melindungi lingkungan. Areal yang siap dapat diredistribusi kepada masyarakat sesuai peraturan merupakan kawasan hutan khusus untuk ketahanan pangan. Penetapan KHKP bisa di kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Khusus pada kawasan hutan lindung HL, syaratnya adalah sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung, yaitu kawasan HL yang terbuka, terdegradasi, atau sudah tidak ada tegakan HL yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung harapannya bisa dipulihkan dengan food estate. Caranya dengan pola kombinasi tanaman hutan tanaman berkayu dengan tanaman pangan agroforestry, kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak sylvopasture, atau kombinasi tanaman hutan dengan perikanan sylvofishery.Tanaman hutan dengan ketiga pola kombinasi di atas akan berperan memperbaiki dan meningkatkan fungsi hutan perspektif pembangunan daerah, pembangunan food estate adalah wilayah perencanaan untuk land use tata guna lahan dengan pola pengelolaan food estate terintegrasi karena mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Ini disertai intervensi teknologi benih, pemupukan, tata air, mekanisasi, pemasaran, dan lain-lain, dengan pola kerja hutan implementasi food estate ada penyusunan master plan yang memuat rencana pengelolaan KHKP dan menyusun detail engineering design DED. Tujuannya untuk menjaga keberlanjutan food estate dan utama pengembangan food estate adalah menjamin ketahanan ekologi sekaligus mencapai target ketahanan pangan AnugrahKepala Biro Humas KLHKTanggapan KLHK 2Menanggapi opini berjudul โ€Meluruskan Green Economyโ€ Kompas, 15/12/2020, kami sampaikan ulasan Cipta Kerja tidak menggantikan pasal-pasal keseluruhan undang-undang lama, hanya pasal-pasal tertentu. Ini untuk pengaturan dengan kemudahan, perlindungan, pemberdayaan koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek OUT AFP PHOTO Kabut asap menyelimuti kota Wuhan, Provinsi Hubei, China tengah, 3 Desember 2009. China adalah salah satu pengemisi terbesar gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan semua pasal berubah. Misalnya, di UU No 41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 2 tidak berubah. Intinya penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, keterbukaan, keterpaduan. Artinya, ruh UU mengenai kelestarian tidak pengaturan tentang kehutanan juga tidak berubah. Ini sesuai Pasal 3 UU No 41/1999 bahwa tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan 18, di mana luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran proporsional dipertahankan. UU Cipta Kerja hanya memberi kewenangan kepada pemerintah pusat untuk mengatur luas kawasan hutan dan tutupan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan diatur dalam peraturan pemerintah PP. Rancangan peraturan pemerintah RPP dimuat dalam portal resmi UU Cipta Kerja-Informasi seputar UU Cipta Kerja analisis mengenai dampak lingkungan amdal, memang ada perampingan dan dilakukan hanya pada masyarakat terdampak langsung. Menyangkut peraturan green economy secara luas, yang disempurnakan hanya instrumen terkait perizinan, seperti amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup, upaya pemantauan lingkungan hidup, dan izin green economy lain, seperti inventarisasi sumber daya alam SDA, rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup RPPLH, ekoregion, daya dukung dan daya tampung, kajian lingkungan hidup strategis KLHS, dan instrumen ekonomi lingkungan tetap mengacu pada UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan green economy terkait instrumen ekonomi lingkungan tidak diubah dalam Undang-Undang Cipta Kerja, kecuali dana penjaminan pemulihan lingkungan. Instrumen ekonomi lingkungan tetap mengacu pada UU No 32/ keterlibatan masyarakat luar diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Cipta Kerja, sebenarnya hanya pengaturan pelibatan masyarakat yang terkena dampak langsung pada sebagian proses amdal. Unsur masyarakat lain, seperti pemerhati lingkungan dan LSM, tetap dilibatkan dalam proses penilaian HardwinartoDirektur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Hidup KLHK
Korupsikolusi,dan nepotisme(KKN) di sebut bahaya laten,karena. answer choices membatasi waktu bermain anak dan penggunaan teknologi yang tidak diperlukan. Tags: Question 9 . SURVEY . 30 seconds . Report an issue . Q. Pertemuan antara dua kebudayaan sehingga menimbulkan kebudayaan baru disebut dengan istilah. answer choices
Pengertian Kolusi โ€“ Istilah korupsi tentu sudah tidak asing di telinga Grameds bukan? Akan tetapi apakah Grameds mengetahui istilah kolusi? Pada umumnya, istilah kolusi ini digunakan untuk menyebutkan tindak KKN yaitu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Secara singkat, pengertian kolusi ialah tindakan bersekongkol atau melakukan mufakat secara rahasia yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan tujuan guna melakukan tindakan yang tidak baik demi mendapatkan suatu keuntungan semata. Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian kolusi secara umum dan menurut para ahli. Pengertian Kolusi1. Merriam Webster Dictionary2. Oxford Dictionary3. Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI4. UU Republik Indonesia5. Otoritas Jasa Keuangan OJKCiri-Ciri dan Penyebab KolusiKarakteristik KolusiPenyebab Tindakan Kolusi1. Kolusi dalam Pemerintahan2. Kolusi dalam Pendidikan3. Kolusi dalam Lapisan MasyarakatPola Operasi Tindakan Kolusi1. Gratifikasi2. PerantaraDampak KolusiTindakan Pencegahan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme1. Memperkuat sarana serta prasarana hukum2. Melakukan penyempurnaan pada kelembagaan penegak hukum3. Pemberdayaan peran masyarakat4. Peningkatan pada pelayanan masyarakat5. Melakukan peningkatan kesejahteraan bagi PNS, Polri dan TNI6. Melakukan pendekatan moral terhadap aparatur negara atau pihak yang berkuasaContoh Kasus KolusiRekomendasi Buku & Artikel TerkaitKategori Ilmu EkonomiMateri Terkait Secara umum, pengertian kolusi ialah suatu bentuk tindakan berupa persekongkolan maupun permufakatan yang dilakukan secara rahasia dan dilakukan oleh dua orang atau lebih, tujuan dilakukannya persekongkolan tersebut ialah untuk melakukan perbuatan yang tidak baik serta demi mendapatkan keuntungan tertentu. Sementara itu pendapat lain mengungkapkan, bahwa pengertian kolusi ialah suatu bentuk kerja sama yang bersifat ilegal maupun konspirasi rahasia yang memiliki tujuan untuk menipu maupun memperdaya orang lain. Pada umumnya, tindakan kolusi ini akan disertai dengan tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah maupun pihak-pihak tertentu demi mendapatkan keuntungan. Apabila disimpulkan, maka pengertian kolusi ialah sikap serta tindakan yang tidak jujur dan melanggar hukum dengan cara membuat kesepakatan rahasia, disertai dengan pemberian fasilitas maupun uang dalam jumlah tertentu sebagai bentuk pelicin guna kepentingan individu maupun kelompok. Selain secara umum, para ahli serta kamus-kamus pun turut mengemukakan pengertian kolusi. Berikut pengertian kolusi menurut para ahli. 1. Merriam Webster Dictionary Menurut kamus dari Merriam Webster tahun 1984, pengertian kolusi ialah suatu perjanjian maupun kerja sama ilegal. Di mana tujuan dari kerjasama tersebut ialah untuk menipu ataupun memperdaya pihak lain. 2. Oxford Dictionary Pengertian kolusi menurut Oxford dictionary, ialah suatu persengkongkolan maupun kerja sama yang rahasia serta ilegal guna menipu orang lain. 3. Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI Menurut KBBI, pengertian kolusi merupakan kerja sama rahasia yang memiliki maksud tidak terpuji di baliknya, persengkongkolan tersebut terjadi di antara para pengusaha serta pejabat pemerintah. 4. UU Republik Indonesia Dalam Undang-Undang Republik Indonesia pun dikemukakan pengertian kolusi. Menurut UU RI, pengertian kolusi ialah suatu permufakatan maupun kerja sama yang dilakukan secara rahasia serta melawan hukum di antara para penyelenggara negara serta pihak lainnya, seperti masyarakat maupun negara. 5. Otoritas Jasa Keuangan OJK Pengertian kolusi menurut lembaga OJK ialah suatu persengkongkolan di antara dua pihak ataupun lebih guna melakukan suatu tindakan yang seolah-olah tindakan tersebut wajar, akan tetapi tindakan tersebut dilakukan guna memperoleh keuntungan dengan cara merugikan pihak lainnya. Selain dari lima kamus serta lembaga tersebut, para ahli ekonom pun menjelaskan, bahwa pengertian kolusi ialah suatu bahasan yang merujuk kepada suatu aktivitas maupun perbuatan yang tidak jujur serta dilakukan oleh dua pihak terkait yang telah sepakat untuk melakukan kerja sama dalam mencapai tujuan tertentu. Contohnya seperti memainkan harga pasar. Kasus kolusi sendiri, merupakan kasus yang dianggap lumrah dilakukan oleh paling tidak dua perusahaan besar yang memiliki keinginan untuk saling meraup keuntungan bersama atau oligopoli. Dalam pola praktik yang sama, berlaku pula kasus kolusi yang dilakukan secara individu. Di mana telah terjadi suatu kesepakatan guna meraih tujuan tertentu. Contohnya adalah seperti pemberian hadiah atau gratifikasi oleh seorang pengusaha pada seorang oknum pejabat, agar pengusaha tersebut mendapatkan izin proyek. Praktek kolusi tersebut, cukup marak terjadi di Indonesia. Maraknya kasus kolusi, dapat dilihat dari banyaknya penangkapan sejumlah oknum pejabat maupun pengusaha berkaitan kasus ini. Di Indonesia, peraturan mengenai kolusi pun telah diatur dengan jelas dalam UU tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli serta persaingan usaha tidak sehat. Ada dua TAP MPR yang berkaitan dengan kolusi, yaitu TAP MPR XI tahun 1998 mengenai penyelenggaran negara yang bersih serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme KKN, serta TAP MPR VIII tahun 2001 tentang arah kebijakan pemberantasan serta pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme KKN. Meskipun tindakan kolusi tersebut tertuang dalam UU serta TAP MPR, akan tetapi masih tidak ada undang-undang yang mengatur tentang kolusi yang dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Ciri-Ciri dan Penyebab Kolusi Agar dapat dengan mudah mengidentifikasi tindakan kolusi, berikut adalah beberapa karakteristik atau ciri dari tindakan kolusi yang mengacu pada pengertian kolusi. Hadirnya kerja sama yang bersifat rahasia atau permufakatan ilegal di antara dua orang atau lebih, dengan tujuan untuk melawan hukum yang berlaku. Permufakatan maupun kerja sama bersifat ilegal, dilakukan oleh penyelenggara negara maupun pihak lain yang memiliki posisi penting. Terjadi pemberian uang pelicin atau gratifikasi atau fasilitas tertentu pada oknum pejabat pemerintah, agar kepenting dari individu atau kelompok tertentu dapat dengan mudah tercapai. Karakteristik Kolusi Di Indonesia, tindakan kolusi paling sering terjadi dalam proyek pengadaan jasa serta barang tertentu yang umumnya dilakukan oleh pihak pemerintah. Tindakan kolusi satu ini, juga memiliki karakteristik, berikut penjelasannya. Pemberian uang pelicin dari perusahaan tertentu kepada seorang oknum pejabat maupun oknum pegawai pemerintahan, agar perusahaan tersebut dapat memenangkan tender dari pengadaaan jasa maupun barang tertentu. Pada umumnya, imbalannya ialah perusahaan tersebut akan kembali ditunjuk untuk proyek selanjutnya. Penggunaan broker atau perantara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam pengadaan jasa maupun barang tertentu. Padahal seharusnya pengadaan barang tersebut, dapat dilaksanakan dengan melalui prosedur yang legal dan benar. Penyebab Tindakan Kolusi Sementara itu, tindakan kolusi terjadi tidak semerta-merta saja, akan tetapi ada beberapa penyebab atau alasan yang melatar belakangi terjadinya tindakan kolusi tersebut. Berikut penjelasan penyebab tindakan kolusi. 1. Kolusi dalam Pemerintahan Kolusi yang terjadi dalam pemerintahan, disebabkan oleh adanya tindakan monopoli kekuasaan dengan wewenang pejabat yang absolut tanpa adanya mekanisme pertanggungjawaban. Pejabat pemerintah pun dikenal memiliki budaya korupsi yang menjamur, sistem dari kontroll yang tidak lagi berfungsi, membuat hubungan pemimpin dengan bawahan menjadi tidak berdasarkan pada asas persamaan. 2. Kolusi dalam Pendidikan Tindakan kolusi dalam pendidikan terjadi karena disebabkan oleh beberapa hal. Beberapa di antara penyebabnya ialah sistem pendidikan yang tidak cukup baik, tradisi untuk memberikan uang pada tenaga pendidik, kurikulum yang masih tidak kontekstual, pemberian apresiasi serta gaji pada tenaga pendidik yang masih rendah, meskipun biaya sekolah tinggi. 3. Kolusi dalam Lapisan Masyarakat Tindakan kolusi juga dapat terjadi di lingkungan masyarakat, kolusi yang terjadi di masyarakat ini sebagian besar disebabkan oleh berbagai macam. Contohnya adalah seperti ekonomi, latar belakang pendidikan, kultur atau budaya kerja seseorang hingga lingkungan tempat tinggal seseorang. Pola Operasi Tindakan Kolusi Ketika ada oknum yang melakukan modus operandi kolusi di Indonesia, maka pola operasinya akan terbagi dalam dua macam, antara lain ialah sebagai berikut. 1. Gratifikasi Pola operasi tindakan kolusi yang pertama ialah dengan memberikan hadiah atau gratifikasi, baik itu berupa uang tunai maupun barang dari seorang pengusaha kepada oknum pejabat. Oknum pejabat ini bisa pejabat yang berada di tingkat daerah ataupun oknum pejabat tingkat nasional. Mislanya anggota parlemen maupun eksekutif dengan tujuan oknum pejabat tersebut untuk memuluskan atau melicinkan jalan perusahaan yang dipimpin oleh pengusaha untuk berhasil memenangkan tender dari suatu proyek pemerintah. Kerja sama tersebut, kadang juga berlanjut ke proyek selanjutnya. Tindakan gratifikasi ini, juga dirumuskan dalam Pasal 12 B ayat 1 UU No. 31 tahun 1999 juncto UU No 20 Tahun 2001 yang berbunyi sebagai berikut, โ€œsetiap gratifikasi pada pegawai negeri maupun penyelenggara negara dianggap sebagai pemberian suap, jika berhubungan dengan jabatannya serta berlawanan dengan kewajiban maupun tugasnya.โ€ Jika dilihat dari rumusan pasal tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu tindakan gratifikasi maupun pemberian hadiah dapat berubah menjadi suatu perbuatan pidana suap, khususnya pada seorang Penyelenggara Negara maupun pegawai negeri. Ketika penyelenggara maupun pegawai negeri melakukan tindakan untuk menerima gratifikasi maupun pemberian hadiah dari pihak manapun. Pemberian hadiah, tidak akan dianggap sebagai tindakan gratifikasi, apabila pemberian hadiah tersebut tidak memiliki hubungan dengan jabatan atau pekerjaan seseorang. 2. Perantara Pola kolusi yang kedua berkaitan dengan adanya pengadaan barang maupun jasa. Di mana proses tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme government to government maupun government to producer dan harus lebih dulu melalui seorang perantara yang ingin mengambil keuntungan. Perantara atau disebut pula dengan broker tersebut, biasanya terdiri dari oknum yang memiliki jabatan serta wewenang tertentu di lembaga pemerintahan maupun perusahaan. Dampak Kolusi Aparat perlu melakukan tindakan tegas mengenai kolusi, sebab kolusi merupakan bentuk dari permufakatan yang jahat serta dilakukan secara bersama dengan tujuan untuk meraup keuntungan. Tindakan kolusi, tentu saja merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan telah masuk dalam kategori tindak pidana, sehingga siapa pun yang tertangkap melakukan tindakan kolusi perlu diproses secara hukum. Tindakan kolusi yang terjadi secara terus-menerus, bahkan dianggap wajar, tentu akan menimbulkan beberapa dampak buruk bagi banyak pihak. Sebab tindakan kolusi merupakan tindakan yang melanggar hukum. Lalu, apa saja dampak yang ditimbulkan dari tindakan kolusi ini? Berikut penjelasannya. Kolusi dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat serta ketidakadilan di berbagai bidang dalam kehidupan. Proses dari pertumbuhan ekonomi serta investasi menjadi terhambat, sehingga pengentasan akan kemiskinan pun ikut terdampak dan terhambat. Terjadinya suatu pemborosan terhadap sumber daya, baik itu sumber daya manusia maupun sumber daya ekonomi. Proses dari demokrasi menjadi terganggu, karena adanya pelanggaran terhadap hak-hak warga negara. Timbulnya rasa tidak percaya dari masyarakat kepada aparat negara. Terjadi ketidakselarasan di antara fungsi, mekanisme proses sesuai dengan prosedur dan hukum, tujuan dengan praktiknya di lapangan. Tindakan Pencegahan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme Seperti yang diketahui, bahwa tindakan KKN ini bukanlah hal yang baru dan bahkan telah menjamur di Indonesia. Di Indonesia sendiri, ada beberapa tindakan penanganan kasus kolusi, korupsi serta nepotisme. Contohnya ialah penangan kasus KKN di masa pemerintahan Soeharto. Pada masa tersebut, KKN ditindak dengan berdasarkan TAP MPR RI 1998. Ada dua kasus KKN yang mendapatkan sorotan di masa tersebut, yaitu yayasan yang dipimpin oleh Soeharti dan kebijaksanaan dari mobil nasional. Pada dua kasus tersebut, ada indikasi penyalahgunaan wewenang. Berbagai upaya pun dilakukan untuk mencegah terjadi tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme di masa depan. Berikut adalah beberapa upaya melakukan pencegahan pada kolusi, korupsi dan nepotisme. 1. Memperkuat sarana serta prasarana hukum Langkah tersebut dapat ditempuh dengan beberapa cara berikut ini. Pembuatan peraturan perundangan yang baru Melakukan pencabutan maupun penyempurnaan peraturan perundangan Memberlakukan peraturan perundangan lainnya yang dapat mendukung upaya dari penghapusan KKN. 2. Melakukan penyempurnaan pada kelembagaan penegak hukum Pejabat negara harus memiliki jiwa kepemimpinan yang baik serta mampu melakukan pengembangan manusia secara luas dan jauh ke depan, sejalan dengan apa yang diperlukan dalam pembangunan. Dalam penegakan hukum, harus disertai pula dengan rasa kemanusiaan, agar dapat terhindar dari adanya diskriminasi hukum bagi rakyat yang berada di lapisan bawah. 3. Pemberdayaan peran masyarakat Setiap warga negara memiliki hak untuk dapat menyuarakan pendapatnya terhadap suatu keputusan, baik itu secara langsung ataupun melalui suatu intermediasi dari institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya sebagai warga negara. Langkah tersebut, dapat diambil ketika masyarakat turut serta dalam kegiatan pemilu. Sehingga, tidak akan ada tindakan kolusi, korupsi maupun nepotisme, atau dapat meminimalisir terjadinya KKN karena masyarakat secara langsung turut berperan. 4. Peningkatan pada pelayanan masyarakat Tindakan dalam pencegahan upaya KKN lainnya ialah dengan meratakan pelayanan pada masyarakat secara adil dengan cara tidak membedakan status maupun golongan. Sehingga, melalui upaya tersebut akan tercipta kepercayaan terhadap para aparatur negara dari masyarakat. Adanya transparansi pelayanan masyarakat, juga dibutuhkan agar suatu lembaga serta informasi dapat secara langsung diterima oleh masyarakat atau pihak-pihak yang membutuhkan informasi tersebut. 5. Melakukan peningkatan kesejahteraan bagi PNS, Polri dan TNI Upaya kelima dalam melakukan pencegahan KKN ialah dengan meningkatkan kesejahteraan aparatur negara atau pejabat negara, salah satu caranya ialah dengan memberikan kenaikan gaji. Ketika aparatur negara merasa cukup sejahtera, maka tindakan korupsi pun akan perlahan hilang atau meminimalisir kegiatan KKN. 6. Melakukan pendekatan moral terhadap aparatur negara atau pihak yang berkuasa Tindakan kolusi, korupsi maupun nepotisme, akan terus terjadi jika aparatur negara atau pihak-pihak yang memiliki kuasa masih memiliki kepribadian yang buruk. Sehingga, dalam upaya pencegahan terjadinya kolusi, korupsi maupun nepotisme, maka dibutuhkan adanya suatu pendekatan moral serta nilai dan keyakinan dalam ajaran agama. Dengan begitu, maka diharapkan bahwa aparatur negara maupun pihak berkuasa dapat sadar serta menghentikan tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme yang dapat merugikan banyak pihak. Contoh Kasus Kolusi Agar lebih paham mengenai tindakan kolusi, berikut adalah beberapa contoh dari kasus kolusi yang terjadi di Indonesia. Menyuap instansi pemerintah, dengan tujuan agar seseorang diterima menjadi PNS. Memberikan uang pelicin kepada tenaga pengajar, agar nilai rapor dari murid tertentu dapat lebih baik. Menyuap instansi-instansi pendidikan, agar seseorang dapat diterima di sekolah maupun universitas favorit. Melakukan penyuapan pada petugas pajak, sehingga nilai pajak yang harus dibayarkan pun menjadi lebih kecil. Melakukan penyuapan pada hakim maupun jaksa, agar hakim dan jaksa dapat meringankan hukuman bagi pelaku kejahatan. Itulah penjelasan pengertian kolusi, ciri-ciri, dampak dan beberapa upaya mengatasinya. Apabila Grameds ingin mengetahui lebih lanjut tentang kolusi atau tindakan KKN, Grameds dapat mengulik lebih dalam dengan membaca buku yang tersedia di Sebagai SahabatTanpaBatas, Gramedia selalu menyediakan beragam buku bermanfaat dan original untuk Grameds. Jadi tunggu apa lagi? Segera beli dan dapatkan bukunya sekarang juga! Rekomendasi Buku & Artikel Terkait BACA JUGA Dampak Korupsi Terhadap Ekonomi, Politik, Pemerintahan & Hukum Mengenal Tugas dan Wewenang KPK, Ada Apa Saja? Rekomendasi Buku Tentang Korupsi Terbaik Permasalahan Sosial Pengertian, Faktor, Penyebab, Dampak, dan Solusi Pengertian, Fungsi, dan Pembagian Lembaga Negara ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah." Custom log Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda Tersedia dalam platform Android dan IOS Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis Laporan statistik lengkap Aplikasi aman, praktis, dan efisien
Padaumumnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) melibatkan oknum pejabat politik yang bekerja sama dengan pengusaha untuk melancarkan proses izin usahanya. Dalam hal ini, ketimpangan sosial disebab This study concludes that the rise of corruption, collusion, and nepotism in the time of the Prophet Muแธฅammad comes from a variety of special terms and is contained in แธฅadฤซth. These emerging terms affect the different usage associations of each term. The method used in this research is analytical and descriptive method. This study uses two approaches. The first approach used in the research is the 'ilm al-แธคadฤซth approach. This approach is used to measure แธฅadฤซth-แธฅadฤซth relating to corruption, collusion and nepotism in terms of quality of matan and sanad; and its asbฤb al-Wurลซd. The second approach is the linguistic approach. This approach is enabled to explore the rationality of corruption, collusion, and nepotism through tradition, systematics, and language tendencies in producing an understanding. This research has several objectives. Firstly, to authenticate corruption, collusion, and nepotism as disciplinary and inconsistent attitudes that can be present in human beings without being limited by the dimension of time and space. Secondly, to verify and measure the existence of cases of corruption, collusion, and nepotism in the time of Mu'ammad ibn 'Abdillฤh by analyzing the matan al-แธคadฤซth, Sharh al-แธคadฤซth, and asbฤb al-Wurลซd. Thirdly, inventory the terms of corruption, collusion, and nepotism in แธฅadฤซth and map their Corruption, Collusion, Nepotism, and แธคadฤซthAbstrak. Penelitian ini menyimpukan bahwa maraknya karupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa nabi Muแธฅammad hadir dari istilah khusus yang beragam dan terdapat dalam แธฅadฤซth. Istilah-istilah yang muncul tersebut berdampak pada asosiasi penggunaan yang berbeda dari masing-masing istilahnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analitis dan deskriptif. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan ilm al-แธคadฤซth. Pendekatan ini difungsikan untuk menakar แธฅadฤซth-แธฅadฤซth yang berkaitan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme secara kualitas matan dan sanadnya; dan asbฤb al-Wurลซd nya. Pendekatan kedua adalah pendekatan kebahasaan. Pendekatan ini difungsikan untuk menelusuri rasionalitas terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme melalui tradisi, sistematika, dan kecenderungan kebahasaan dalam memproduksi suatu pemahaman. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, mengobjektifikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai sikap indisipliner dan inkonsisten yang dapat hadir dalam diri manusia tanpa dibatasi dimensi waktu dan ruang. Kedua, memastikan dan mengukur keberadaan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa Muแธฅammad ibn Abdillฤh dengan menganalisis matan al-แธคadฤซth, Sharh al-แธคadฤซth, dan asbฤb al-Wurลซd. Ketiga, menginventarisir istilah-istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam แธฅadฤซth dan memetakan penggunaannya. Kata Kunci Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan แธคadฤซth Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS Teguh Luhuringbudi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Indonesia sampaiteguh Achmad Yani Kantor Wilayah Kementrian Agama, Kabupaten Buleleng, Bali, Indonesia Abstract. This study concludes that the rise of corruption, collusion, and nepotism in the time of the Prophet Muแธฅammad comes from a variety of special terms and is contained in แธฅadฤซth. These emerging terms affect the different usage associations of each term. The method used in this research is analytical and descriptive method. This study uses two approaches. The first approach used in the research is the 'ilm al-แธคadฤซth approach. This approach is used to measure แธฅadฤซth-แธฅadฤซth relating to corruption, collusion and nepotism in terms of quality of matan and sanad; and its asbฤb al-Wurลซd. The second approach is the linguistic approach. This approach is enabled to explore the rationality of corruption, collusion, and nepotism through tradition, systematics, and language tendencies in producing an understanding. This research has several objectives. Firstly, to authenticate corruption, collusion, and nepotism as disciplinary and inconsistent attitudes that can be present in human beings without being limited by the dimension of time and space. Secondly, to verify and measure the existence of cases of corruption, collusion, and nepotism in the time of Mu'ammad ibn 'Abdillฤh by analyzing the matan al-แธคadฤซth, Sharh al-แธคadฤซth, and asbฤb al-Wurลซd. Thirdly, inventory the terms of corruption, collusion, and nepotism in แธฅadฤซth and map their usage. Keywords Corruption, Collusion, Nepotism, and แธคadฤซth Abstrak. Penelitian ini menyimpukan bahwa maraknya karupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa nabi Muแธฅammad hadir dari istilah khusus yang beragam dan terdapat dalam แธฅadฤซth. Istilah-istilah yang muncul tersebut berdampak pada asosiasi penggunaan yang berbeda dari masing-masing istilahnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analitis dan deskriptif. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan ilm al-แธคadฤซth. Pendekatan ini difungsikan untuk menakar แธฅadฤซth-แธฅadฤซth yang berkaitan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme secara kualitas matan dan sanadnya; dan asbฤb al-Wurลซd nya. Pendekatan kedua adalah pendekatan kebahasaan. Pendekatan ini difungsikan untuk menelusuri rasionalitas terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme melalui tradisi, sistematika, dan kecenderungan kebahasaan dalam memproduksi suatu pemahaman. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, mengobjektifikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai sikap indisipliner dan inkonsisten yang dapat hadir dalam diri manusia tanpa dibatasi dimensi waktu dan ruang. Kedua, memastikan dan mengukur keberadaan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa Muแธฅammad ibn Abdillฤh dengan menganalisis matan al-แธคadฤซth, Sharh al-แธคadฤซth, dan asbฤb al-Wurลซd. Ketiga, menginventarisir istilah-istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam แธฅadฤซth dan memetakan penggunaannya. Kata Kunci Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan แธคadฤซth 229 Pendahuluan Muhammad ibn Abdillฤh merupakan sosok yang menjadi teladan dengan kebulatan perangai dari berbagai sudut pandang. Pandangan yang menyatakan bahwa Muhammad ibn Abdillah sebagai sosok yang sempurna seringkali tidak dapat lepas dari intervensi subyektif. Subyektifitas tersebut didasarkan pada norma, ikatan ideologis, pemahaman konservatif, dan keterlibatan dogma. Pandangan lain menyatakan kebulatan perangai yang berkonotasi positif didasarkan pada budaya ilmiah yang pada akhirnya menghasilkan negative frame maupun positive frame pada diri Muhammad ibn Abdillah. Hal tersebut didasarkan pada upaya merespon suatu thesa yang menyatakan bahwa Muhammad ibn Abdillฤh sebagai sosok yang berperangai baik tanpa atau minim nilai indisipliner-inkonsistensi. Respon yang diterapkan berupa budaya ilmiah dan tradisi tulis untuk membuktikan sejauh mana tingkat perangai baik yang ada pada diri Muhammad ibn Abdillฤh. Kedua pandangan tersebut bermuara pada upaya menghadirkan antithesa atau pertanyaan kritis berupa sejauh mana integritas moral Muhammad ibn Abdillฤh sebagai public figure dan kontekstualisasinya? Etika Nabi Muแธฅammad SAW dan dekadensi moral umat Islam merupakan diskursus yang tidak kunjung selesai dan selalu melibatkan subyektifitas dari setiap variabel pengukurannya. Variabel pengukuran berupa disiplin keilmuan Islamic Studies, Dirฤsฤt Islฤmiyyah yang sejatinya memiliki nuansa obyektif dan bebas nilai digunakan untuk melegitimasi suatu sikap ideologis-dogmatis-subyektif sebelum penelitian terkait berhasil memproduksi hasil penelitian. Upaya mengkomparasikan diskursus waktu atau tempat dalam tema atau kasus tertentu tidak lebih dari upaya kesewenang-wenangan untuk memberi sentimen positif pada waktu atau tempat tertentu dan sentimen negatif terhadap waktu atau tempat lain. Objektifikasi suatu moralitas harus dilakukan dengan menetralkan suatu tema atau kasus dengan menyampaikan pengetahuan bahwa setiap dimensi waktu dan tempat memiliki dinamika tersendiri dan tidak dapat disamakan dengan yang lain. Dinamika etika Muแธฅammad ibn Abdillฤh sebagai public figure yang dibandingkan dengan dekadensi moral umat Islam perlu dilakukan objektifikasi. Beragam kepribadian dan perilaku setiap manusia merupakan unifikasi yang rumit untuk diidentifikasi, apalagi diteliti secara mendalam. Upaya pengukuran etika dan moral umat Islam di dimensi waktu dan tempat yang berbeda perlu dikhususkan pada tema, pengambilan data, disiplin keilmuan, dan tujuan tertentu sehingga diharapkan dapat menghasilkan wawasan yang mendalam, deeply added insight. Hal ini juga berguna dalam melacak dan memastikan dinamika moralitas pada masa Nabi Muแธฅammad ibn Abdillฤh. Penelusuran etika Muhammad SAW dan moralitas masyarakat di zamannya perlu ditilik pada tema korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini tidak hanya didasarkan pada stigma korupsi sebagai extraordinary crime, namun juga keberadaan kolusi dan nepotisme yang berdampak pada dimensi ketata-negaraan, sosial, keadilan, kemanusiaan, dan hak asasi manusia. Pelacakan sejarah korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa Nabi SAW menjadi pertimbangan tersendiri dalam mengukuhkan teori sejarah dari ketiga tema tersebut. Pelacakan tersebut JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 230 menjadi stimulasi dalam memicu penelitian-penelitian lanjutan yang membahas penanganan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pemahaman mendasar tentang ketiga tema tersebut didasarkan pada keterbatasan dalam mengendalikan id, ego, dan superego sekaligus fitrah manusia untuk mengaktualisasikan kebahagiaan paripurna. Perolehan kebahagiaan sempurna sebagai fitrah manusia secara alami akan membenarkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini berarti bahwa ketiga tema tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia saja atau di zaman reformasi pemerintahan Indonesia saja, namun jauh pada masa sebelumnya manusia telah mengalami bahkan melestarikan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pondasi Primordial Definisi, Historisitas, Normativitas, dan Dinamika Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Definisi korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat dilihat dari sudut pandang hukum dalam konteks ke-Indonesia-an. Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan hukum mendefinisikan kolusi sebagai pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antar Syamsul Anwar, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah Jakarta Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2006, 10. Teguh Luhuringbudi, Analisa Pengaruh al-Qawฤid al-Uแนฃลซliyyah dan al-Fiqhiyyah terhadap Perbedaan Pendapat dalam Fiqih Kasus Hukuman untuk Tindak Pidana Korupsi, Makalah Matakuliah Islamic Law Jakarta Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2016, 1. Kolusi dalam aspek perdagangan didefinisikan sebagai hubungan antara penawar bidder yang membatasi persaingan dan merugikan pembeli publik. 24. Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan pendapat muncul terkait entitas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pendapat yang memposisikan ketiganya sebagai satu kesatuan dapat dilihat dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 46 tahun 2009 yang berbunyi, โ€œtindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.โ€Pendapat yang tidak secara inklusif menyebutkan nepotisme dan kolusi sebagai satu entitas dengan korupsi tersebut dijelaskan dalam ayat 2 pasal 5 UU RI Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi, โ€œYang dimaksud penyelenggara negara dalam Pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian penyelenggara negara tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam Undang-undang ini.โ€ Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Bab III Kewenangan, Pasal 6, Butir C. Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 5 Ayat 2. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 231 Korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan tindakan indisipliner yang terjadi sejak lama, baik dalam konteks ke-Indonesia-an maupun sejarah di masa Muแธฅammad ibn Abdillฤh. Luhuringbudi mencontohkan ketiga tindakan tersebut dalam konteks ke-Indonesia-an dengan pemlesetan singkatan โ€œVereenigde Oost-Indische Compagnieโ€ yang berarti โ€œPersekutuan Perusahaan Hindia Timurโ€ menjadi redaksi โ€œVergaan Onder Corruptieโ€ yang berarti โ€œBangkrut Karena Korupsiโ€ pada tahun tindakan tersebut juga terjadi di masa Muhammad ibn Abdillฤh yang berdampak pada produk hukum berupa kehalalan ganimah harta rampasan perang. Hal ini diperjelas dengan kutipan Hadis berikut ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎ˆ†๎‡“๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎‚บ๎ˆ‡๎ƒˆ๎‡‚๎ƒ‰๎‡ฟ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎„บ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฆ๎ƒŒ๎‚บ๎†ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ˆ๎€ƒ๎‡พ๎‡ท๎ˆ‚๎‡ฌ๎‡ณ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒŒ๎‡ป๎ˆ‹๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡บ๎‡ท๎€ƒ๎„Ž๎…“๎‡ป๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡„๎ƒˆ๎‡ฃ๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ƒŠ๎„‘๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒŒ๎…‘๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ๎†ข๎„‹๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ƒŠ๎„‘๎€ƒ๎ƒˆ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎†ฆ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ€๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒŠ๎‡‚๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ฟ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‡๎‚จ๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎‡ท๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒŒ๎‡”๎ƒ‰๎†ฅ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฎ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒƒ๎ƒˆ๎ƒˆ๎…—๎ƒŒ๎‡‹๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ†๎†พ๎ƒˆ๎†ท๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ฌ๎ƒ‰๎‡‡๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ž๎ƒˆ๎‡ง๎ƒŒ๎‡‚๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ…๎Šซ๎ˆ‚๎ƒ‰๎ˆˆ๎ƒ‰๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒˆ๎…˜๎ƒˆ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ†๎†พ๎ƒˆ๎†ท๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒ‡๎‚ฉ๎†ข๎ƒˆ๎‡จ๎ƒŠ๎‡ด๎ƒˆ๎†ป๎€ƒ ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ฃ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒˆ๎Šญ๎ƒˆ๎†พ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡„๎ƒˆ๎‡ค๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒˆ๎‚ฎ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒŠ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‰๎‡‚๎ƒŠ๎‡œ๎ƒˆ๎†ฌ๎ƒŒ๎‚บ๎‡ผ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ฟ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡‚๎ƒŒ๎‡๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎‡๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎ƒˆ๎ˆ‡๎ƒŒ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡†๎ƒŒ๎‡ธ๎„‹๎‡Œ๎‡ด๎ƒŠ๎‡ณ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎‡ฎ๎‡ณ๎‚ฏ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎†ฆ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆ‡๎ƒŠ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡ˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒ‰๎†ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒŒ๎†ท๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ถ๎ˆ€๎‡ด๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ†๎‚ฐ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ท๎ƒŒ๎†˜๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒˆ๎Šญ๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ†๎‚จ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ท๎ƒŒ๎†˜๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฎ๎„‹๎‡ป๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ถ๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎†ถ๎ƒˆ๎†ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒ…๎ˆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ฃ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎‡ฐ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ๎„‹๎ƒ€๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒŒ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡˜๎ƒˆ๎†ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎‡ด๎ƒ‰๎‡ฏ๎ƒŒ๎†˜๎ƒˆ๎†ฌ๎ƒŠ๎‡ณ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฐ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฝ๎ƒŠ๎†พ๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ‡๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡ซ๎ƒŠ๎‡„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒ‹๎‡ฒ๎ƒ‰๎‡ฏ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎†ฏ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎†ฏ๎€ƒ ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒŒ๎…›๎ƒˆ๎‡ด๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡ซ๎ƒŠ๎‡„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฎ๎ƒ‰๎†ฌ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ค๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฐ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฝ๎ƒŠ๎†พ๎ƒˆ๎ˆˆ ๎‚ฆ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‡๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฒ๎ƒŒ๎‚ข๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฒ๎ƒŒ๎†ฐ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‡๎‚ฒ๎ƒŒ๎‚ข๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎„‹๎‡ฒ๎ƒˆ๎†ท๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎„‹๎ƒ‰๎„ฝ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒŒ๎‚บ๎†ฌ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡ฏ๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ ๎ƒˆ๎‡“๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎†ค๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒˆ๎‡€๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€…๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎„‹๎‡ด๎ƒˆ๎†ท๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎Šญ๎ƒˆ๎‡„๎ƒŒ๎†ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡จ๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‡“๎€ƒ๎ƒƒ๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ถ๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎ƒ‰๎‰ฆ Teguh Luhuringbudi, Analisa Pengaruh al-Qawฤid al-Uแนฃลซliyyah dan al-Fiqhiyyah terhadap Perbedaan Pendapat dalam Fiqih Kasus Hukuman untuk Tindak Pidana Korupsi, Peristiwa perang di masa Muhammad merupakan peristiwa sejarah yang menelurkan empat kasus sekaligus. Kasus pertama adalah kasus kolusi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya persekongkolan dalam menyembunyikan harta sebagaimana redaksi ๎‚ฆ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎€ƒ๎ƒŒ๎†ฐ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‡๎‚ฒ๎ƒŒ๎‚ข๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŠ๎†ค๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒˆ๎‡€๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‡๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฒ๎ƒŒ๎‚ข๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฒ . Tindakan penyembunyian harta yang dilakukan oleh pasukan Muhammad ibn Abdillฤh merupakan kerjasama dan pemufakatan jahat dalam melawan hukum berupa instruksi Muhammad untuk mengumpulkan semua harta rampasan perang yang merugikan rasa keadilan sesama prajurit. Pembuktian persekongkolan sebagai inti dari definisi kolusi yang bermakna lebih dari satu subjek atau pihak dibuktikan dengan redaksi ๎‚ฆ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง yang mengandung แธomฤซr-pronoun yang jamaโ€™ atau plural. Hal ini dapat mengakibatkan kesenjangan dan perasaan iri bagi prajurit yang saling bekerjasama dalam perang namun tidak mendapatkan kompensasi atau apresiasi setelah perang sedangkan pihak atau prajurit mendapatkan kompensasi atau apresiasi. Kasus kedua dari hadis tersebut adalah kasus korupsi. Variabel penyalahgunaan amanah dapat dilihat dari kemunculan instruksi sebagai basis normatif dan pengingkaran sebagai basis inkonsisten. Basis normatif แธฅadฤซth tersebut dapat terlihat dari ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ถ๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง. Instruksi normatif Muhammad tidak sepenuhnya mendapatkan jawaban positif yang dibuktikan dengan fenomena ๎€ƒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡งMakalah Matakuliah Islamic Law Jakarta Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2016, 1. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 232 ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒ…๎ˆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ฃ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎‡ฐ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ๎„‹๎ƒ€๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒŒ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡˜๎ƒˆ๎†ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎‡ด๎ƒ‰๎‡ฏ๎ƒŒ๎†˜๎ƒˆ๎†ฌ๎ƒŠ๎‡ณ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ ๎ƒŠ๎ƒ‹๎‡ฒ๎ƒ‰๎‡ฏ. Kutipan tersebut merupakan upaya dalam memastikan sejauh mana instruksi atau hukum berjalan di grass root. Hal ini membuahkan hasil karena adanya penemuan penggelapan dengan redaksi ๎€ƒ๎ƒŠ๎†ค๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒˆ๎‡€๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‡๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒŠ๎‚ฒ๎ƒŒ๎‚ข๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ ๎ƒŠ๎‡ฒ๎ƒŒ๎†ฐ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒ‡๎‚ฒ๎ƒŒ๎‚ข๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŠ๎†ฅ sebagai barang temuan. Terminologi al-Ghulลซl dalam Hadis ini dapat dikategorikan sebagai korupsi berdasarkan definisi yang diutarakan oleh Muhammad ketiga adalah nepotisme. Hadis tersebut memberikan keterangan bahwa perbuatan melawan hukum dengan tidak mengumpulkan seluruh harta rampasan perang ghanฤซmah merupakan suatu sikap indisipliner. Perlawanan hukum ini dilakukan sebanyak tiga kali. Pertama ketika Nabi mengumpulkan harta rampasan perang merupakan suatu instruksi ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ถ๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง agar seluruh prajurit turut melakukan hal yang sama walaupun hasil akhir menyatakan adanya ketidakpatuhan dan penggelapan. Kedua, tidak adanya perasaan bersalah disertai pengakuan perbuatan indisipliner sebagai bentuk perlawanan hukum saat Nabi mengatakan ada indikasi gulลซl hingga keadaan demikian menuntut adanya Pakta Integritas baiโ€™at seperti redaksi berikut ๎€ƒ๎„‹๎ƒ€๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ ๎ƒŠ๎ƒ‹๎‡ฒ๎ƒ‰๎‡ฏ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒ…๎ˆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ฃ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎‡ฐ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‡๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡ซ๎ƒŠ๎‡„๎ƒˆ๎‡ด๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฝ๎ƒŠ๎†พ๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฅ. Nฤแนฃir mendefinisikn al-Ghulลซl adalah seorang yang mengambil harta rampasan perang secara diam-diam sedikit atau banyak dan tidak menyetorkannya kepada komandan perang untuk dibagi rata. Al-Shaikh Muแธฅammad Nฤแนฃir al-Dฤซn ibn al-แธคฤj Nลซh al-Albฤni, แนขahฤซh al-Targhฤซb wa al-Tarhฤซb, Juz 2 30. Teguh Luhuringbudi, Analisa Pengaruh al-Qawฤid al-Uแนฃลซliyyah dan al-Fiqhiyyah Ketiga, Pakta integritas tersebut memunculkan pernyataan dari Muhammad ibn Abdillah dalam mengukuhkan adanya tindakan perlawanan hukum dan tidak adanya satu pihak pun yang mengakui atau minimal memberi kesaksian terkait tindakan indisipliner gulลซl yang terjadi. Hal ini dibuktikan dengan redaksi ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฝ๎ƒŠ๎†พ๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎†ฏ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎†ฏ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒŒ๎…›๎ƒˆ๎‡ด๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡ซ๎ƒŠ๎‡„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฎ๎ƒ‰๎†ฌ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎…™๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฐ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ค๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฐ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง. Tindakan indisipliner dengan tidak mengakui adanya gulลซl korupsi merupakan fenomena ketidakstabilan sosial social pathology yang menurut Haller dan Shore disebabkan karena kurang maksimalnya kegunaan ilmu dan ranah sosial social discipline yang menggerogoti kehidupan dalam melawan hukum untuk kepentingan keluarga dan kroni dibuktikan dengan adanya keterlibatan lebih dari satu pelaku dalam bentuk redaksi verbal ๎‚ฆ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง sebagai representasi dalam memahami fenomena nepotisme. Kasus keempat adalah historisitas kehalalan ghanฤซmah. Integritas dan dedikasi umat Islam terhadap instruksi pimpinan, Muhammad SAW yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menghadirkan penilaian terhadap fenomena manusia dalam konteks hadis tersebut. Hal ini menjadi pertimbangan Muhammad SAW dan Allah SWT dalam mengapresiasi lemahnya integritas dan dedikasi umat Islam dalam merawat budaya disiplin untuk menstimulasi terhadap Perbedaan Pendapat dalam Fiqih Kasus Hukuman untuk Tindak Pidana Korupsi, Makalah Matakuliah Islamic Law Jakarta Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2016, 1. Dieter Haller dan Cris Shore Ed, Corruption Anthropological Perspective London Pluto Press, 2005, 4. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 233 sistem dan birokrasi yang terarah-terukur, good governance. Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di saat perang tersebut melahirkan produk hukum berupa kehalalan ghanฤซmah. Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Treisman membagi penyebab korupsi menjadi lima sebab. Pertama, income kompetitif berbanding terbalik dengan kinerja. Kedua, intervensi pemerintah terhadap pasar terlalu tinggi. Ketiga, perlakuan sama terhadap beragam komoditas atau produk oleh pemerintah. Keempat, undang-undang atau peraturan yang rumit dan tidak transparan. Sundell berpendapat bahwa korupsi lahir karena tidak adanya upaya memprofesionalkan birokrasi untuk melindungi dari pengaruh politik. Suksesi tindakan sekaligus pelestarian kolusi terjadi karena beberapa faktor atau penyebab. Pertama, adanya kontrak atau pengadaan publik dengan sistem birokrasi dan administrasi yang lemah sehingga berpotensi melahirkan budaya persaingan yang tidak pengadaan publik yang lebih khusus terutama pengadaan barang membuat prosesnya menjadi lebih khusus pula sehingga rentan terhadap praktik anti persaingan. Peraturan dan persyaratan yang menuntut proses yang lebih detil dan Boris Begovic, Corruption Concepts, Types, Causes, and Consequences Center for International Private Enterprise Economic Reform Feature Service, 2005, 1-7. Daniel Treisman, โ€œThe Causes of Corruption A Cross-national Study,โ€ Journal of Public Economics, 76 2000 399-457. Anders Sundell, Nepotism and Meritocracy, QoG Working Paper Series Gothenburg The Quality of Government Institute, 2014, 4. The OECD Global Forum on Competition, Collusion and Corruption in Public Procurement 2010 9-10. Hal ini berdampak pada upaya pelemahan demokrasi, menghambat tata berlebihan sehingga lebih mudah diprediksi dan memunculkan pelung tidak adanya upaya pencegahan berupa penyelenggaraan sistem dan transaksi yang transparan. Sebab-sebab kemunculan nepotisme dapat ditilik dari beberapa pendapat. Pendapat pertama muncul dari Sundell yang menyatakan bahwa nepotisme disebabkan empat hal. Pertama, pengaruh politik yang dibuktikan dengan tidak adanya reformasi sebagai suatu prinsip kenegaraan sehingga profesionalitas birokrasi menjadi yang dimaksud adalah promosi dan transformasi posisi tanpa biaya administratif dengan tuntutan adanya kreteria objektif yang salah satunya berupa persyaratan pendidikan. Kedua, senioritas dan tidak adanya meritokrasi. Ketiga, adanya unsur kekeluargaan dalam suatu pekerjaan, tugas, atau aristokrasi memiliki peluang dalam mengakses pendidikan yang lebih baik dan pada akhirnya menjamin keberadaan posisi politis dan karir tertentu. Pendapat-pendapat yang menjabarkan sebab-sebab nepotisme tersebut memiliki dampak pada tidak berjalannya birokrasi yang professional. Identifikasi praktik korupsi dapat dilihat dari beberapa unsur. Pertama, penyalahgunaan posisi publik untuk pemerintahan yang sehat, dan menghambat investasi dan pembangunan ekonomi. The OECD Global Forum on Competition, Collusion and Corruption in Public Procurement 2010 10. Anders Sundell, Nepotism and Meritocracy, QoG Working Paper Series Gothenburg The Quality of Government Institute, 2014, 10. Anders Sundell, Nepotism and Meritocracy, QoG Working Paper Series Gothenburg The Quality of Government Institute, 2014, 12-13. Anders Sundell, Nepotism and Meritocracy, QoG Working Paper Series Gothenburg The Quality of Government Institute, 2014, 20. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 234 keuntungan finansial di bidang monopoli dalam berbagai pelayanan infrastruktur. Kedua, memperoleh tender dengan cara yang tidak sah bagi perusahaan yang mimiliki hubungan dengan orang-orang di posisi publik. Ketiga, penunjukan individu atas dasar nepotisme. Keempat, memfasilitasi perizinan dan pemotongan pajak untuk individu yang tidak memenuhi syarat berdasarkan hubungan pribadi. Kelima, penyalahgunaan barang publik untuk partai politik atau penggunaan kajian penelitian ini didasarkan pada dua hal. Pertama, pembatasan berdasarkan tema besar dilakukan dengan memfokuskan pada wacana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kedua, pembatasan berdasarkan waktu adalah tinjauan hadis-hadis korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mengindikasikan adanya ketiga tindakan indisipliner di masa nabi; dan konteks ke-Indonesia-an. Kedua pembatasan ini untuk ditujukan untuk melihat kadar degradasi moral pada masa nabi dan pada masa reformasi di Indonesia. Ketiga, Hadis yang digunakan dalam penelitian ini adalah gulul, rishwah, suht, baiโ€™ฤt al-Imฤm li dunya, dan jaur al-Qฤdฤซ aw al-Imฤm. Pembatasan masalah tersebut di atas merupakan dasar penelitian yang ditujukan untuk melakukan Azmi Shuabi, Elements of Corruption in th eMiddle East and North Africa The Palestinian Case, disampaikan pada 9th International Anti-Corruption Conference IACC, 10-15 October, 1999, Durban, South Africa, 2. Nur Achmad, PENCEGAHAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HADIS Studi Hadis Korupsi dalam Kutub al-Sittah Jakarta Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2007, 103-128. Lihat dalam Tabel Daftar Inventaris Hadis Korupsi. Muslim, แนขaแธฅฤซh, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Wujลซd al-แนฌahฤrah li al-แนขalฤh, no. 224. Abลซ pengembangan studi hadis. Achmad berhasil menginventarisir hadis tentang korupsi yang dibagi menjadi tiga hadis gulul secara umum, empat belas hadis gulลซl al-ganimah, sembilan hadis gulลซl al-sadaqah dan hadiyyah al-ummal, tiga hadis risywah, dua hadis suht, satu hadis baiโ€™at al-imam li al-dunya, lima hadis jaur al-qadi aw monoton yang dihadirkan Achmad dalam studi Hadisnya difokuskan pada tema besar korupsi semata. Penulis berusaha mengembangkan Hadis gulul, rishwah, suht, baiโ€™ฤt al-Imฤm li dunya, dan jaur al-Qฤdฤซ aw al-Imฤm pada pemetaan tema korupsi, kolusi, dan nepotisme. . The Facts of the Case ๎€ƒ๎†ช๎‡ ๎…ฉ๎€ƒ ๎…ˆ๎‚ค๎€ƒ ๎€๎€ƒ ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ ๎‡‚๎‡ธ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎‡บ๎†ฅ๎‚ฆ๎€ƒ ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒŒ๎‡ฌ๎ƒ‰๎‚บ๎†ซ๎€ƒ๎ˆ๎€ƒ๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡ฌ๎ˆ‡๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎‡ซ๎†พ๎‡๎€ƒ ๎ˆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒ‡๎‚ฐ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ˆ€๎ƒ‰๎‡—๎€ƒ ๎ƒŠ๎…š๎‡ค๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ†๎‚จ๎ˆ๎‡๎€ƒ๎ƒ‡๎‚พ๎ˆ‚๎‡ด๎‡ฃ๎€…18๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ ๎ƒˆ๎ƒ€๎Šช๎ˆ‚๎†ฏ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒˆ๎†พ๎‡ˆ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฌ๎ƒ‚๎‡‚๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‚ผ๎ƒˆ๎‚ฐ๎†ข๎‡ง๎€ƒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒŠ๎‡„๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡ฐ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎€๎€ƒ ๎ƒ‡๎‚ช๎ˆ๎†ฏ๎€ƒ ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒ†๎‚ ๎ƒŒ๎ƒ„๎ƒŠ๎‡‚๎ƒˆ๎†ฅ๎€ƒ ๎ˆ‚๎‡ฟ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎‡ด๎ƒ‰๎‡ค๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎€…๎ƒˆ๎†จ๎„‹๎‡ผ๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฒ๎ƒˆ๎†ป๎ƒˆ๎‚ฎ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎ˆ‡๎„‹๎†พ๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚19๎€ƒ๎ƒ€๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‡๎ƒ‹๎ˆ†๎ƒŠ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‚บ๎†ฐ๎ƒˆ๎…ฌ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‡๎ƒ‹๎ˆ†๎ƒŠ๎‡Œ๎ƒŒ๎†ฆ๎ƒ‰๎†ท๎€ƒ๎‡บ๎†ฅ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎†พ๎†ฆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚พ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎ˆ‹๎‚ฆ๎€ƒ ๎„Œ๎ƒ„๎‚ข๎€ƒ ๎€๎ƒˆ๎‡ฒ๎ƒŠ๎† ๎ƒ‰๎‡‡๎€ƒ ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ ๎…“๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ ๎„‹๎‡ฎ๎‡‹๎€ƒ ๎ˆ๎€ƒ ๎ƒ†๎ƒ€๎†ข๎…ป๎‚ค๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‚Ÿ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎ƒŒ๎‡ง๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ˆ๎€ƒ๎ƒ†๎‚ฎ๎†ข๎ˆ€๎ƒŠ๎†ณ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒˆ๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎‡ด๎‡ฃ๎€ƒ๎€ƒ๎€‘๎ƒ†๎‚จ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎ƒŒ๎…๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ†๎†จ๎„‹๎†ด๎ƒˆ๎†ท๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡งDฤwลซd, Sunan, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Farแธi al-Wuแธลซโ€™, no. 59, juz 1, Tirmiแบ“ฤซ, Sunan, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a Lฤ Tuqbalu al-แนขalฤt bi Gairi แนฌahลซr, no. 1, h. 9. Nasฤโ€™ฤซ, Sunan, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Farแธ al-Wuแธลซโ€™, no 139, h. 31. Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Lฤ Tuqbalu al-แนขalฤt bi Gairi แนฌahลซr, no. 271, 272, 273, dan 274, h. 57. Tirmizฤซ, Sunan, Kitฤb al-Sair, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fi al-Ghulลซl, No. 1573, h. 403. Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb al-แนขadฤqฤt , Bฤb al-Tashdฤซd fฤซ al-Dain, No. 2412, h. 386. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡—๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‚Ÿ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎ƒŒ๎‡ง๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎‚จ๎ˆ๎‡๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎„Œ๎ƒ„๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฒ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚Ÿ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎‡ง๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎‡ซ๎†พ๎‡๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎„Œ๎ƒ„๎†˜๎‡ง๎€ƒ๎‡ฒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ซ๎€ƒ๎€‘ ๎ƒŠ๎‚ฉ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‚บ๎‡ผ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎†ด๎ƒŠ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ„๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎€‘๎‡ฒ๎ˆˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒ‹๎‡ฒ๎ƒŠ๎‡ฌ๎ƒ‰๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒŒ๎ˆ€๎ƒ‰๎†ณ๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ฟ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‚Ÿ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎ƒŒ๎‡ง๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฟ๎„‹๎‡‚๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎‚Ÿ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎ƒŒ๎‡ง๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฎ๎†ข๎ˆ€๎ƒŠ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎„Œ๎ƒ„๎†˜๎‡ง๎€ƒ๎‡ฒ๎ˆˆ๎‡ซ๎€ƒ๎€‘๎„‹๎‡ฒ๎ƒˆ๎†ณ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎„‹๎‡„๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŠ๎‡ณ๎†ข๎ƒˆ๎ƒŠ๎… ๎€ƒ ๎ƒˆ๎ƒŒ๎…›๎ƒŠ๎‡ฏ๎ƒŠ๎‡‚๎ƒŒ๎‡Œ๎ƒ‰๎…ญ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎†พ๎ƒˆ๎‡ฟ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‚Ÿ๎ƒ‰๎‚ป๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎‡‹๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฒ๎ƒŒ๎†ฌ๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎„Œ๎ƒ„๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฒ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ซ๎€ƒ๎€‘๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŠ๎‡ˆ๎ƒŒ๎‡จ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ป๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€…๎ƒ‰๎‡ฝ๎ƒ‰๎‚ฎ๎‚ฆ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŠ๎‡ฌ๎ƒ‰๎‡Ÿ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒ‰๎‡ท๎ƒˆ๎‚ฎ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ช๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒŠ๎‡‚๎ƒŒ๎‡ฟ๎ƒ‰๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎€20๎€ƒ๎ƒˆ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒ‡๎‡‚๎ƒŒ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎†พ๎†ฆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚พ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡‡๎ƒˆ๎‚ฐ ๎€ƒ๎ˆ†๎ƒŠ๎‡‹๎‚ฆ๎„‹๎‡‚๎‡ณ๎‚ฆ๎ˆ†๎ƒŠ๎‡Œ๎ƒˆ๎†ซ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒˆ๎ƒ‚21๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎‡‚๎ˆ‡๎‡‚๎‡ฟ๎€ƒ ๎ƒŠ๎„บ๎‚ข๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎„ฟ๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ†๎ƒŠ๎‡Œ๎ƒˆ๎†ซ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ†๎ƒŠ๎‡‹๎‚ฆ๎„‹๎‡‚๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ถ๎ƒŒ๎‡ฐ๎ƒ‰๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ22๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‰๎†ช๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ƒˆ๎…ฉ๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒ‡๎‡ถ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒ‰๎‡‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎„บ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎‚๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎‡ฟ๎†ข๎ƒˆ๎ƒˆ๎„”๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฒ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ท๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ธ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‚ฎ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎„‹๎†ด๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ๎„ฟ๎€ƒ๎€๎‚ฆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ณ๎†ข๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎‚๎€…๎‚Ÿ๎ƒ‰๎†ช๎ƒŒ๎‡ค๎„‹๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡ฟ๎€ƒ๎„‹๎‡ถ๎ˆ€๎‡ด๎‡ณ๎‚ฆ๎€…๎€ƒ๎€๎ƒˆ๎‚พ๎†ข๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎„‹๎ƒ‰๎„ฝ๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡จ๎ƒˆ๎†ท๎†ข๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ก๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‚ฏ๎ƒŠ๎‚ค๎€…๎€ƒ๎€๎ƒˆ๎‚พ๎†ข๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎„‹๎ƒ‰๎„ฝ๎€ƒ๎€‘๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ป๎€ƒ๎„‹๎‡ถ๎ˆ€๎‡ด๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฎ๎†ข๎ƒˆ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ผ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ฎ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒ‰๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ†๎‡Š๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒˆ๎‡‚๎ƒ‰๎‚บ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎‡˜๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€…๎€‘๎ƒ‰๎‡ฝ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡Ÿ๎ƒˆ๎†พ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡‹๎ƒ‰๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒˆ๎ƒ€๎†ข๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ23๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€‘๎ƒŠ๎ƒ‹๎ƒŠ๎……๎ƒˆ๎ˆ๎ƒŠ๎ƒŒ๎…ฎ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒ‡๎‚ผ๎ƒŠ๎‚ฐ๎†ข๎ƒˆ๎ƒ‰๎…ฑ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒˆ๎†จ๎ƒˆ๎‡๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‚พ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡‡๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ ๎ƒ‰๎†ช๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‚บ๎†ซ๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ ๎‚๎ƒ…๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎†ข๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ง๎€ƒ ๎ƒ‰๎†ช๎ƒŒ๎‡ด๎„‹๎‡ธ๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ข๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒŠ๎‡ซ๎ƒˆ๎‚ข๎€…๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎‚๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒ‰๎‡ณ๎ƒˆ๎†˜๎ƒŒ๎‡‡๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎€‘๎€…๎†ข๎ƒˆ๎ƒŠ๎„‘๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฎ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒ‰๎‡ท๎ƒŒ๎†˜๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ซ๎ƒˆ๎†พ๎„‹๎‡๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ซ๎ƒŒ๎ƒˆ๎ฆ๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ ๎„‹๎ƒ‰๎„ฝ๎€ƒ ๎€๎€ƒ ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎„‹๎ƒ€๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ ๎‚๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ ๎Šฎ๎€…๎€ƒ๎€๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎†ฏ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎†ฏ๎€ƒ ๎ƒŠ๎†พ๎ƒˆ๎†ท๎ƒˆ๎ƒŠ๎ˆ‹๎€ƒ ๎„‹๎ˆ๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ ๎„Œ๎‡ฒ๎ƒŠ๎ƒˆ๎…ข๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ๎€ƒ๎ƒˆ๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎†˜๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ…๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎†ข๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ง๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฒ๎„‹๎‡ธ๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ข๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎†˜๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎ƒŒ๎†ช๎„‹๎‡ด๎ƒˆ๎†ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ Tirmiแบ“ฤซ, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fi al-Gulลซl, no. 1573, h. 403. Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb al-แนขadฤqฤt, Bฤb al-Tasydฤซd fฤซ al-Daฤซn, no. 2412, h, 386. Abลซ Dฤwลซd, Sunan, Kitฤb al-Aqแธiyah, Bฤb fฤซ Karฤhiyati al-Rishwah, no. 3580, Juz. 3, h. 291. Tirmiแบ“ฤซ, Sunan, Kitฤb al-Ahkฤm, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fi al-Rฤshi wa al-Murtasyฤซ fi al-แธคukmi, no. 1337, h. 344. Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb al-Ahkฤm, Bฤb al-Taglฤซz fฤซ al-แธคaif wa al-Risywah, no. 2313, Tirmiแบ“ฤซ, Sunan, Kitฤb al-Ahkฤm, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fi al-Rฤsyi wa al-Murtasyฤซ fi al-แธคukmi, no. 1336, h. 344. ๎€ƒ๎„‹๎ƒ‰๎„ฝ๎€ƒ ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎†ฆ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎‚๎ƒ‰๎‡ฎ๎ƒŠ๎‡ˆ๎ƒŒ๎ƒ‰๎…ป๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ณ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎†ท๎†ข๎ƒˆ๎†ฌ๎ƒŒ๎†ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎†ธ๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎†ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎†ข๎ƒˆ๎‡๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎‡๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ ๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎†˜๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎„‹๎‡ด๎ƒˆ๎†ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒˆ๎†ค๎ƒŒ๎ˆˆ๎€ƒ๎ƒ‡๎‡Š๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡ท๎‚ฆ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒŠ๎‡ซ๎ƒณ๎€ƒ๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒ…๎‚ฎ๎‚ฆ๎ƒˆ๎†พ๎ƒŠ๎‡‡๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‡๎‡Š๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€๎€ƒ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎‡ซ๎†ข๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎†ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎†ข๎ƒˆ๎‡๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒŠ๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ„๎ƒŠ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ฏ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎†ฏ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎†ฏ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฟ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ๎‚๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎‡ซ๎†ข๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒ…๎Šญ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒ‰๎‡ง๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎†ฅ๎†ข๎‡๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ ๎ƒŒ๎†พ๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ ๎€๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŠ๎‡ท๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎‚บ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒˆ๎†ค๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ ๎‚๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎†˜๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎„‹๎‡ด๎ƒˆ๎†ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‡๎‡Š๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡ท๎‚ฆ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒŠ๎‡ซ๎ƒณ๎€ƒ๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒ…๎‚ฎ๎‚ฆ๎ƒˆ๎†พ๎ƒŠ๎‡‡๎€ƒ๎€๎€ƒ ๎ƒˆ๎‚พ๎†ข๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‡๎‡Š๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎ƒณ๎€ƒ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ ๎„‹๎‡บ๎ƒ‰๎‡ฟ๎‚ฆ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒŠ๎‡‡๎€ƒ ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎Šฎ๎€ƒ๎‚๎ƒŠ๎†จ๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎†˜๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎†ข๎ƒ…๎†ฌ๎ƒŒ๎†ธ๎ƒ‰๎‡‡๎€ƒ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒ‰๎‡ด๎ƒ‰๎‡ฏ๎ƒŒ๎ƒˆ๎ฉ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒ‰๎‚บ๎†ฆ๎ƒŠ๎†ท๎†ข๎‡๎†ข๎ƒ…๎†ฌ๎ƒŒ๎†ธ๎ƒ‰๎‡‡๎€…24๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎……๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎†ด๎ƒ‰๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒŠ๎†ค๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎†…๎Šช๎€ƒ ๎ƒˆ๎‚ฝ๎ƒ‰๎‡€๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡Ÿ๎ƒ‰๎‚ข๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎†ด๎ƒ‰๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒ‰๎†ค๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ๎ƒˆ๎ƒ€๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‚บ๎‡ป๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ฐ๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡ท๎ƒ‰๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ƒˆ๎„‘๎‚ฆ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒŒ๎‚บ๎†ฅ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ†๎ƒŠ๎‡Œ๎ƒˆ๎‡ฃ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒŒ๎ƒ„๎ƒŠ๎†พ๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ƒˆ๎„”๎†ข๎ƒˆ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒŠ๎ƒŠ๎„‘๎ƒŠ๎‡€๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ ๎ƒŒ๎ƒŠ๎„ฟ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ซ๎„‹๎†พ๎ƒˆ๎‡๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎‡›๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒ‰๎†ช๎ƒŒ๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎ƒ‹๎…™๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡†๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒŠ๎ˆ€๎ƒŠ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ด๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ƒˆ๎„‘๎‚ฆ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒŒ๎‚บ๎†ฅ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ†๎ƒŠ๎‡Œ๎ƒˆ๎‡ฃ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡ท๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ต๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ๎„‹๎ˆ†๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฎ๎ƒŠ๎‡‚๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒŒ๎‚บ๎‡ซ๎ƒŠ๎ƒ‹๎†พ๎ƒˆ๎‡๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡Œ๎ƒŒ๎‡ค๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒŠ๎ƒŠ๎„‘๎ƒŠ๎‡€๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ ๎ƒŠ๎„ฟ๎€ƒ๎ƒˆ๎Šญ๎‚ข๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎ƒ‹๎…™๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒŠ๎ˆ€๎ƒŠ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒ‰๎‡›๎€ƒ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒŒ๎‚บ๎‡ผ๎ƒŠ๎‡ ๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‰๎†ค๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ๎Šฎ๎€ƒ๎€‘๎ƒˆ๎‚ต๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ ๎„‹๎ˆ†๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฎ๎ƒŠ๎ƒˆ๎…š๎ƒˆ๎‡‡๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฟ๎ƒŒ๎ˆ‚๎„‹๎‡๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ†๎ƒ€๎†ข๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ˆ๎„‹๎‡๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎†ด๎ƒ‰๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ‰๎†ž๎ƒŠ๎‡จ๎ƒŒ๎‡˜๎ƒ‰๎†ซ๎€ƒ ๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ซ๎ƒˆ๎†พ๎„‹๎‡๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ ๎ƒ†๎†จ๎„‹๎‡ผ๎ƒ‰๎†ณ๎Šฎ๎€ƒ๎€‘๎ƒ‰๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฅ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎†ž๎ƒŠ๎‡จ๎ƒŒ๎‡˜๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ๎ƒˆ๎†จ๎ƒˆ๎† ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡˜๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ฌ๎‚ฆ๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ†๎‡ถ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ซ๎€ƒ ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‚บ๎†ฅ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎„‹๎‡ป๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒŒ๎†ด๎ƒ‰๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒ‰๎†ค๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‡ฏAbลซ Dฤwลซd, Sunan, Kitฤb al-Kharฤj wa al-Imฤrah, Bฤb fฤซ Karฤhiyati al-Iftirฤแธ fฤซ ฤ€khir al-Zamฤn, no. 2959, juz 3, h. 71. Muslim, แนขaแธฅฤซแธฅ, Kitฤb al-Zakฤh, Bฤb Man Taแธฅillu lahu al-Masโ€™alah, no. 1044, h. 373. Abลซ Dฤwลซd, Sunan, Kitฤb al-Zakฤh, Bฤb Mฤ Tajลซzu fฤซhi al-Masโ€™alah, no. 1640, juz 2, h. 40. Nasฤโ€™ฤซ, Sunan, Kitฤb al-Zakฤh, Bฤb al-แนขadaqah li man Taแธฅammala bi แธคamฤlatin, no 2577. Dฤrimฤซ, Sunan, Kitฤb al-Zakฤh, Bฤb Man Taแธฅillu lahu al-แนขadaqah, no 1670, juz 1, h. 283-284. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒˆ๎†ช๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ป๎€ƒ๎ƒ‡๎†ช๎ƒŒ๎†ธ๎ƒ‰๎‡‡๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡ป๎†ข๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ ๎„‹๎ˆ๎ƒŠ๎‚ค๎€…๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ ๎ƒˆ๎…„๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข25Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ ๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎‡‚๎ˆ‡๎‡‚๎‡ฟ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎„บ๎‚ข๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฟ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ถ๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒ‰๎‡ธ๎ƒŠ๎ƒ‹๎‡ด๎ƒˆ๎‡ฐ๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ ๎ƒˆ๎ˆ๎€ƒ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎†ฏ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎†ฏ๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎ƒˆ๎‡ท๎†ข๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ†๎‚ง๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡€๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎ƒˆ๎…ฎ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒŠ๎ˆ€๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎ƒ‹๎‡ฏ๎ƒˆ๎‡„๎ƒ‰๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎€ƒ๎€๎ƒ†๎‡ถ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ณ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ž๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ป๎€ƒ ๎ƒŠ๎‡ช๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒŠ๎‡‚๎„‹๎‡˜๎‡ณ๎ƒŠ๎Šช๎€ƒ๎ƒ‡๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ ๎ƒŠ๎‡ฒ๎ƒŒ๎‡”๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡ท๎†ข๎ƒŠ๎‡ท๎‚ค๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒˆ๎ˆ‡๎ƒˆ๎Šช๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎ƒŠ๎‡ฒ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎†ฆ๎„‹๎‡ˆ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‰๎†พ๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒŠ๎‡‚๎ƒ‰๎ˆ‡๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ฝ๎†ข๎ƒˆ๎‡˜๎ƒŒ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ€๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎‚๎ƒ‰๎‡ฝ๎†ข๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŒ๎‚บ๎‡ป๎ƒ‰๎†พ๎ƒŠ๎‡ณ๎€ƒ ๎„‹๎ˆ๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒ‰๎‡ ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒˆ๎„พ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎ˆ‡๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ ๎ƒŠ๎‡ฆ๎ƒˆ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎€ƒ ๎„‹๎ˆ๎ƒŠ๎‚ค๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ž๎€ƒ๎ƒ…๎ˆ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ฆ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎†ธ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚๎ƒŠ๎‡‚๎ƒŒ๎‡๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎†พ๎ƒŒ๎‡ ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒ‡๎†จ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒŠ๎‡ˆ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡€๎ƒˆ๎‡ฏ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡€๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ ๎†ข๎ƒˆ๎ƒŠ๎„‘๎€ƒ ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡˜๎ƒŒ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ ๎ƒŒ๎†พ๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‡ณ๎€ƒ ๎ƒŠ๎†…๎ƒŠ๎Šช๎€…๎€‘๎†ข๎ƒˆ๎ƒŠ๎„‘๎€ƒ๎ƒŠ๎‡–๎ƒŒ๎‡ ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎†ข๎ƒˆ๎‡ฟ๎ƒˆ๎‡€๎ƒˆ๎†ป๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ซ๎„‹๎†พ๎ƒˆ๎‡๎ƒˆ๎‡ง26๎€ƒ๎€๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒ‹๎…“๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‚๎€ƒ๎ƒˆ๎‚จ๎ƒˆ๎†พ๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒˆ๎‡‚๎ƒ‰๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎„พ๎€ƒ ๎ƒ†๎†พ๎ƒŠ๎†ท๎‚ฆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎€๎€ƒ ๎ƒ†๎†จ๎ƒˆ๎†ฏ๎ƒˆ๎ˆ๎ƒˆ๎†ฏ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚จ๎†ข๎‡”๎ƒ‰๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€…๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎„‹๎‡ผ๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎„‹๎‡ผ๎ƒˆ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎„พ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ„๎ƒŠ๎‡€๎„‹๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎†ข๎„‹๎‡ท๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎„พ๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒ€๎†ข๎ƒˆ๎‡ผ๎ƒŒ๎‚บ๎†ฏ๎‚ฆ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‡พ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡”๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎„‹๎‡ช๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ป๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎„พ๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ถ๎ƒŒ๎‡ฐ๎ƒ‰๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ๎„ฟ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฐ๎†ข๎ƒˆ๎†ด๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎„‹๎‡ช๎ƒˆ๎ƒŒ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ป๎ƒˆ๎‡‚๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‡๎‡ฒ๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฒ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ด๎ƒŠ๎‡ณ๎€ƒ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡”๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎ƒ†๎‡ฒ๎ƒ‰๎†ณ๎ƒˆ๎‚ฐ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€‘๎€…๎ƒŠ๎‚ฐ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒŠ๎„พ๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ‚๎ƒ‰๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ง27๎€ƒ๎ƒŠ๎„บ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ƒˆ๎‚พ๎†ข๎ƒˆ๎‡ซ๎€ƒ๎‚๎ƒˆ๎„พ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ˆ„๎ƒŠ๎‡“๎†ข๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‰๎‰ฆ๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒˆ๎‡ท๎ƒŠ๎‡„๎ƒˆ๎‡ณ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ˆ„๎‡ด๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ฃ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‚ฐ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‚ฏ๎ƒŠ๎†œ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ ๎‚๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎ƒˆ๎…ธ๎€…๎ƒ‰๎ƒ€๎†ข๎ƒˆ๎‡˜๎ƒŒ๎ˆˆ๎„‹๎‡Œ๎‡ณ๎‚ฆ28๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ ๎ƒŠ๎ƒ‹๎ƒ„๎ƒŠ๎‚ฐ๎ƒŒ๎†พ๎ƒ‰๎ƒŒ๎…ฌ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‡๎†พ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ ๎ƒˆ๎‡‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎„บ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฎ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒŠ๎ƒŒ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎ƒŒ๎‡ง๎ƒˆ๎‚ข๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‡๎‡‚๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ ๎ƒ‡๎ƒ€๎†ข๎ƒˆ๎‡˜๎ƒŒ๎‡ด๎ƒ‰๎‡‡๎€ƒ๎ƒˆ๎†พ๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒŠ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒ‡๎‚พ๎ƒŒ๎†พ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŠ๎‡ด๎ƒˆ๎‡ฏ๎€…๎€‘๎ƒ‡๎‡‚๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ๎ƒ‡๎ƒŒ๎…š๎ƒŠ๎‡ท๎ƒˆ๎‚ข29 Tirmiแบ“ฤซ, Sunan, Bฤb Mฤ แบ’ukira fฤซ Faแธli al-แนขalฤh, no. 614, h. 177. Aแธฅmad, Musnad, juz 3, h. 321 dan 399. Bukhฤrฤซ, แนขahฤซh, Kitฤb al-Aแธฅkฤm, Bฤb Man Bฤyaโ€™a Rajulan lฤ Yubฤyiโ€™uhu illฤ li al-Dunyฤ, no. 7212, h. 1306. Bukhฤrฤซ, Kitฤb al-Shahฤdฤt, Bฤb al-Yamฤซn baโ€™da al-Aแนฃri, no. 2672, h. 486-487. Abลซ Dฤwลซd, Sunan, Kitฤb al-Aqแธiyyah, Bฤb fฤซ al-Qฤแธฤซ Yukhแนญiโ€™u, no. 3573, Juz 3, h. 288-289. Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb al-Aแธฅkฤm, Bฤb al-แธคฤkim Yajtahidu fa Yuแนฃฤซbu al-แธคaq, No. 2315, h. 370. Tirmฤซzฤซ, Sunan, Kitฤb al-Aแธฅkฤm, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fฤซ al-Imฤm al-ฤ€dil, No. 1330, h. 343. ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ƒ‡๎†พ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ ๎ƒˆ๎‡‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒŠ๎„บ๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎…„๎‚ค๎€ƒ ๎ƒŠ๎‚ฒ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎„‹๎†ค๎ƒˆ๎†ท๎‚ข๎€ƒ๎„‹๎ƒ€๎‚ค๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎ƒŠ๎†จ๎ƒˆ๎‡ท๎†ข๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฟ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ†๎‚ฟ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎‚ค๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡ˆ๎ƒŠ๎‡ด๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ฏ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒŒ๎‡ผ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎‡ฟ๎ƒˆ๎Šญ๎ƒŒ๎‚ฎ๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒˆ๎‚ฟ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎…„๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฒ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡’๎ƒˆ๎‡ค๎ƒŒ๎‚บ๎†ฅ๎‚ข๎€ƒ๎„‹๎ƒ€๎‚ค๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎ƒ†๎‚พ๎ƒŠ๎‚ฎ๎†ข๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒ†๎‚ฟ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ ๎†ข๎ƒ…๎‡ˆ๎ƒŠ๎‡ด๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ฏ๎€ƒ ๎ƒŒ๎‡ถ๎ƒ‰๎‡ฟ๎ƒˆ๎†พ๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‚บ๎†ฅ๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ ๎ƒŠ๎†จ๎ƒˆ๎‡ท๎†ข๎ƒˆ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€…๎€‘๎ƒ†๎‡‚๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ30๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ด๎†ข๎ƒˆ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‡‚๎ƒŒ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡บ๎ƒŒ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŠ๎‰ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎†พ๎ƒŒ๎†ฆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎‰ฆ๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡‡๎‚ฐ๎€ƒ๎ƒ‰๎†ช๎ƒŒ๎‡ ๎ƒŠ๎ƒˆ๎…ฉ๎€ƒ๎€๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎€ƒ๎ƒ‰๎‚พ๎ˆ‚๎‡ฌ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒˆ๎‰ฆ๎€ƒ ๎„‹๎ƒ€๎‚ค๎€…๎€ƒ๎€๎€ƒ๎€ƒ๎ƒˆ๎ˆ๎€ƒ๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡Ÿ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‡„๎ƒŠ๎†ฌ๎ƒŒ๎‡ป๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡ถ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒŠ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‡’๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒŒ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ถ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒŠ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡’๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒŒ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ฐ๎‡ณ๎ƒ‚๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฎ๎†ข๎ƒˆ๎†ฆ๎ƒŠ๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡บ๎ƒŠ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‰๎‡พ๎ƒ‰๎‡Ÿ๎ƒŠ๎‡„๎ƒˆ๎†ฌ๎ƒŒ๎‚บ๎‡ผ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡ธ๎ƒŠ๎‡ณ๎†ข๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡ช๎ƒŒ๎†ฆ๎ƒ‰๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‚ฏ๎ƒŠ๎‚ค๎€ƒ ๎„‹๎…•๎ƒˆ๎†ท๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒˆ๎‡ด๎ƒ‰๎‡ ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒŠ๎‡’๎ƒŒ๎†ฆ๎ƒˆ๎‡ฌ๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒ‰๎‡ด๎ƒŠ๎† ๎ƒ‰๎‡ˆ๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒ…๎ˆ๎†ข๎„‹๎ˆ€๎ƒ‰๎†ณ๎€ƒ ๎†ข๎ƒ…๎‡‡๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎‚ฃ๎ƒ‰๎‚ฐ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚ฒ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡€๎ƒˆ๎„‹๎…ฃ๎‚ฆ๎€…๎€‘๎‚ฆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎„Œ๎‡ด๎ƒˆ๎‡“๎ƒˆ๎‚ข๎ƒˆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒŒ๎ˆ‚๎„Œ๎‡ด๎ƒˆ๎‡”๎ƒˆ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‡๎‡ถ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒŠ๎‡Ÿ๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒŒ๎…š๎ƒˆ๎‡ค๎ƒŠ๎†ฅ๎€ƒ๎ƒŒ๎ˆ‚๎ƒˆ๎‚บ๎†ฌ๎ƒŒ๎‚บ๎‡ง๎ƒˆ๎†˜๎ƒˆ๎‡ง31Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif berdasarkan penguraian atau reduksi datanya. Penelitian ini juga tergolong sebagai penelitian pustaka karena objek materil dan objek formil dalam penelitian ini diambil dari literasi kepustakaan yang digunakan dalam penyusunan kerangka berpikir yang menjadi landasan sejak awal hingga analisis dalam penelitian ini. Sumber primer atau objek materil penelitian ini adalah kitab berjudul Kutub al-Sittah. Proses pengumpulan data yang berasal dari buku/kitab Kutub al-Sittah dilakukan dengan beberapa tahap. Pertama, menginventarisir แธฅadฤซth- แธฅadฤซth yang memiliki probabilitas Abลซ Dฤwลซd, Sunan, Kitฤb al-Malฤแธฅฤซm, Bฤb al-Amr wa al-Nahy, No. 4344, Juz 4, h. 109. Tirmiแบ“ฤซ, Sunan, Kitฤb al-Fitan, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a Afแธalu al-Jihฤd Kalimฤt แธคaq inda แนขulแนญฤn Jฤโ€™ir, No. 2174, h. 524. Tirmizi, Sunan, Kitฤb al-Aแธฅkฤm, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fฤซ al-Imฤm al-ฤ€dil, No. 1329, h. 343. Bukhฤrฤซ, แนขaแธฅฤซแธฅ, Kitฤb al-Ilmi, Bฤb Kaifa Yuqbaแธu al-Ilmu, No. 100, h. 37. Muslim, แนขaแธฅฤซแธฅ, Kitฤb al-Ilmi, Bฤb Rafโ€™i al-Ilmi waQabแธihi, No. 2673, h. 1030. Tirmizi, Sunan, Abwฤb al-Ilmi, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fฤซ Zihฤbฤซ al-Ilmi, No. 2652, h. 625. Al-Manฤwฤซ, Faiแธ al-Qadฤซr, No. 1826, Jilid 2, h. 347. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 237 sebagai indikator, penjelasan, bahkan pengertian dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kedua, mengklasifikasi istilah-istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme dari แธฅadฤซth-แธฅadฤซth yang diteliti. Istilah-istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme berupa Ghulลซl, Rishwah, Suแธฅt, Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ, dan Jaur al-Qadฤซ aw al-Imฤm disampaikan di pendahuluan sebagai bahan dasar analisis di pembahasan selanjutnya. Proses analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap. Pertama, menandai kata, diksi, atau redaksi yang menunjukkan pemaknaan atau pembahasa korupsi, kolusi, dan nepotisme di setiap แธฅadฤซth yang diteliti. Kedua, memberikan komentar terkait status dan kualitas แธฅadฤซth. Ketiga, mendefinisikan istilah-istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam แธฅadฤซth secara kebahasaan. Keempat, memberikan komentar dan penafsiran dari para muแธฅaddith terkait maksud dari redaksi, diksi, atau kata yang terkait dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme di setiap แธฅadฤซthnya. Kelima, menyampaikan kondisi korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa Muแธฅammad ibn Abdillah SAW yang berkaitan pada setiap kasus di setiap แธฅadฤซthnya. Keenam, malakukan interpretasi linguistik. Ketujuh, malakukan perpaduan analisis antara interpretasi linguistik, kondisi pada masa Muแธฅammad ibn Abdillah SAW melalui beragam literasi, dan keterangan dari asbฤb al-Wurลซd. Ketujuh, malakukan framming. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Istilah al-Ghulลซl Muslim menjelaskan dugaan kuat bahwa Ibn ฤ€mir terlibat dalam kasus korupsi sebagaimana pernyataannya berikut ๎€ƒ๎‡ฎ๎‡ป๎‚ค๎€ƒ ๎‡ฝ๎†ข๎‡ผ๎‡ ๎‡ธ๎‡ง๎†ซ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎‚ผ๎ˆ‚๎‡ฌ๎†ท๎€ƒ๎‡ฎ๎†ฅ๎€ƒ๎‡ช๎ƒ‹๎‡ด๎‡ ๎†ซ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎‚จ๎‡‚๎‡๎†ฆ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎ˆˆ๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚๎€ƒ๎†ช๎‡ผ๎‡ฏ๎€ƒ๎†พ๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎‚พ๎ˆ‚๎‡ด๎‡ค๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡บ๎‡ท๎€ƒ๎…ƒ๎†ข๎‡ˆ๎†ฅ๎€ƒ๎†ช๎‡ˆ๎‡ณ๎€ƒ๎…„๎†ข๎‡ ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡พ๎†ฐ๎†ท๎ƒ‚๎€ƒ๎‡‚๎‡ท๎†ข๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡บ๎†ฅ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡‚๎†ณ๎‚ฑ๎€ƒ๎†พ๎‡๎‡ซ๎€ƒ๎‡‚๎‡ธ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡บ๎†ฅ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ€๎‚ข๎€ƒ๎‚๎‡ถ๎‡ด๎‡Ÿ๎‚ข๎€ƒ๎‰ฆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚๎‡‚๎‡ฟ๎†ข๎‡œ๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚ฎ๎†ข๎†ฆ๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚ผ๎ˆ‚๎‡ฌ๎†ท๎ƒ‚๎…ญ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡บ๎‡Ÿ๎€ƒ๎‚ธ๎ˆ๎‡ซ๎ˆ๎‚ฆ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ๎‡พ๎‡”๎ˆ‡๎‡‚๎…ข๎ƒ‚๎€ƒ๎†จ๎†ฅ๎ˆ‚๎†ฌ๎‡ณ๎‚ฆ๎‚ฉ๎†ข๎‡จ๎‡ณ๎†ข๎†ผ . Muslim, แนขaแธฅฤซh, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Wujลซd al-แนฌahฤrah li al-แนขalฤh, no. 224, Cetakan Kedua Kerajaan Saudi Arabia Hadis G1 merupakan แธฅadฤซth yang secara terus-terang ditujukan pada tindakan korupsi. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan ๎‚จ๎‡‚๎‡๎†ฆ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒˆ๎†ช๎‡ผ๎‡ฏ๎ƒ‚ Umar ibn Khattฤb pada Ibn ฤ€mir. Pernyataan tersebut dimaknai Muslim bahwa Ibn ฤ€mir tidak mungkin mendapat perhatian dari Allah atas penyakit yang menimpanya karena disinyalir terjerat kasus keadilan sosial berupa penyimpangan hak-hak Allah, masyarakat, dan lingkungan. Muslim juga berpendapat bahwa Umar ibn al-Khattฤb bermaksud menyadarkan Ibn ฤ€mir dengan mengupayakan agar bertaubat dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diperbuat terkait dengan G2 yang tidak memiliki kecenderungan dalam tipologi korupsi, kolusi, maupun nepotisme perlu diamati lebih jauh. Penulusuran sejarah asbฤb al-Wurลซd dan interpretasi muแธฅaddith tidak menjelaskan secara rinci Hadis ini. Penyatuan seluruh struktur teks Hadis diupayakan untuk memperoleh pemahaman dan maksud sehingga tidak menyisakan kabar yang sulit dipahami. Penyatuan tersebut dimaksudkan tidak hanya untuk menghilangkan kesan kontradiksi dalam Hadis semata. Sisi lain penyatuan unsur linguistik teks disebabkan karena kesan kontradiksi Hadis sebenarnya memiliki maksud yang tidak jauh al-Ghulลซl yang berada diantara al-Kanz dan al-Dain memungkinkan memiliki makna yang dapat menjembatani kontradiksi makna diantara keduanya. Kata al-Kanz yang Kementerian Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Penerangan Darus Salam, Muharram 1421/April 2002, 114. Laila Sari Masyhur, โ€œStudi Analitik Hadits Penyalahgunaan Fungsi Jabatan Kasus Ibnu Lutbiah,โ€Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII, No. 1 Januari 2011 98-114 [109]. Lihat juga Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fฤซ Ulลซm al-Hadis, Cetakan Ketiga Beirut Dar al-Fikr, 1997, 338. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 238 berarti menimbun barang dan kata al-Dain yang berarti hutang adalah potret kontradiksi atau oposisi biner yang memungkinkan bahwa makna al-Ghulลซl dalam konteks kalimat ini memiliki citra sebagai sesuatu yang dapat menjembatani kedua redaksi kontradiktif tersebut. Hal ini memungkinkan bahwa kata al-Ghulลซl memiliki makna menyuap atau menyogok; dan atau korupsi. Pemaknaan tersebut didasarkan karena al-Kanz merupakan potret ekonomi yang menunjukkan kemapanan dan al-Dain menunjukkan ketidakmapanan. Pemaknaan sogok atau suap merupakan unsur terpenting dari kolusi dan nepotisme yang bernuansa untuk subjektifitas kepentingan pribadi, keluarga, kelompok penyuap atau penyogok. Hal ini menyebabkan bahwa kata al-Ghulลซl pada G2 tidak hanya dimaknai sebagai korupsi, namun juga kolusi dan nepotisme. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Istilah Rishwah Hadis R1 bernuansa kolusi dan nepotisme. Abลซ ฤชsฤ menyatakan bahwa kualitas Hadis adalah แธฅasan แนฃahฤซh dan diriwayatkan oleh Abฤซ Salamah ibn Abd al-Rahmฤn yang didapatkan dari Abdullah ibn ini merupakan kecaman. Kecaman ini ditujukan pada al-Rฤshฤซ dan al-Murtashฤซ. Definisi al-Rฤshฤซ sebagai al-Muโ€™แนญฤซ ๎ˆ„๎‡˜๎‡ ๎…ญ๎‚ฆ dan al-Murtashฤซ sebagai al-ฤ€khidh ๎‡€๎†ป๎ˆ‰๎‚ฆ oleh al-Tarmidhฤซ dimaksud sebagai dua tindakan indisipliner dengan menggunakan cara illegal nail bi bฤแนญฤซlan dan mengajukan Abลซ ฤชsa Muแธฅammad ibn ฤชsฤ al-Tarmidhฤซ, Sunan al-Tarmidhฤซ, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fi al-Rฤshฤซ wa al-Murtashฤซ fi al-แธคukm, Hadis ke-1341 Beirut Dar al-Fikr, 2005. 408. Kualitas แนฃaแธฅฤซh didasarkan pada riwayat Alฤซ ibn Muแธฅammad, lihat Abฤซ Abdillฤh Muแธฅammad ibn Yazฤซd al-Qazwฤซnฤซ Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb al-Ahkฤm, maksud kontra produktif tawแนฃแนฃul badฤlฤซ แบ“ulmin.Redaksi al-Rฤshฤซ dan al-Murtashฤซ yang didasarkan pada bentuk maแนฃdar berupa rishwah yang berarti pemberian, sogokan, atau suap ini merupakan fakta sosial yang terekam dan dilembagakan oleh ucapan Muแธฅammad ini merupakan tindakan sosial secara aktif yang melibatkan lebih dari satu orang atau pihak. Hal ini berdampak pada asosiasi rishwah dalam Hadis R1 ini tidak mungkin mengacu pada kenyataan korupsi pada masa itu. Oposisi biner yang menghadirkan dua redaksi dalam oral Muแธฅammad merupakan rekaman keberadaan interaksi aktif antara al-Rฤshฤซ dan al-Murtashฤซ. Hadis ini tidak menjelaskan rantai keuntungan dalam konteks negatif-destruktif yang dialamatkan untuk keluarga atau rekanan pelaku yang terlibat rishwah sehingga mempermudah asosiasi istilah rishwah sebagai bentuk nepotisme. Hadis ini merupakan bentuk kecaman dan ancaman untuk tidak melakukan rishwah sehingga bagi pelaku yang melanggar ucapan Muแธฅammad dapat dikategorikan sebagai upaya melawan hukum yang biasa disebut kolusi. Hal ini menyebabkan bahwa แธคadฤซth R1 lebih cenderung bernuansa kolusi disbanding sekedar nepotisme, terlebih korupsi. แธคadฤซth R2 bernuansa kolusi dan nepotisme. Abลซ ฤชsฤ menyatakan bahwa kualitas Hadis adalah แธฅasan แนฃahฤซh dan diriwayatkan oleh Abลซ Mลซsฤ Muแธฅammad ibn al-Muthannฤ yang diketahui dari Abลซ ฤ€mir al- al-Taglฤซz fฤซ al-แธคaif wa al-Rishwah, no. 2313 Riyฤd Maktabatu al-Mufฤriq, 1417 H., 396. Abฤซ ฤชsฤ Muแธฅammad ibn ฤชsฤ ibn al-Tarmidhฤซ, Jฤmiโ€™u al-Tarmidhi maโ€™a Shamฤilu al-Tarmidhi TK TP., 212. Informasi lain menyatakan bahwa Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Abฤซ Dhiโ€™bin yang diketahui dari Khฤlid al-แธคฤrith ibn Abd al-JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 239 Hadis yang tidak ditemukan asbฤb al-Wurลซd nya ini menampilkan dua redaksi yang saling berinteraksi sehingga mendekati pada definisi nepotisme walaupun tidak dijelaskan status kekerabatan dan sosial yang terjalin antara al-Rฤshฤซ, al-Murtashฤซ, dan pihak lain secara mendetil. Hal inilah yang menyebabkan redaksi rishwah sebagai kata mendasar dan kata kunci dalam แธฅadฤซth ini cenderung mendekati nuansa dan etimologi suap dan penerimaan suap setelah ucapan Muแธฅammad dalam R2 ini di masanya merupakan tindakan melawan hukum yang dapat dikategorikan sebagai R3 mengandung unsur kolusi dan nepotisme. Hal ini didasarkan pada redaksi al-Aแนญฤโ€™u yang berarti pemberian tentu dengan konotasi negatif dalam konteks perebutan kekuasaan yang ditandai dengan redaksi ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎ƒˆ๎‚บ๎‡ผ๎ƒŒ๎‚บ๎ˆˆ๎ƒˆ๎‚บ๎†ฅ๎€ƒ ๎†ข๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŒ๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡ง๎€ƒ ๎ƒŠ๎‡ฎ๎ƒŒ๎‡ด๎ƒ‰๎‡ธ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ˆ„๎ƒˆ๎‡ด๎ƒˆ๎‡Ÿ๎€ƒ ๎ƒ†๎‡Š๎ƒŒ๎ˆ‡๎ƒˆ๎‡‚๎ƒ‰๎‚บ๎‡ซ๎€ƒ ๎ƒŒ๎†ช๎ƒˆ๎‡จ๎ƒˆ๎†ท๎†ข๎ƒˆ๎ƒˆ๎…ก๎€ƒ ๎‚ฆ๎ƒˆ๎‚ฏ๎ƒŠ๎‚ค dan rushฤn yang berarti sogokan atau suap. Kasus nepotisme yang mensyaratkan adanya upaya menguntungkan diri sendiri dan jalinan sosial terdekat dibuktikan dengan terciptanya budaya โ€œmemberiโ€ untuk maksud pragmatis. Bentuk lain dari nepotisme adalah upaya perekrutan individu tanpa Raแธฅmฤn. Khalid mengetahuinya dari Abฤซ Salamah yang mengetahuinya dari Abdillah ibn Amr. Abลซ ฤชsa Muแธฅammad ibn ฤชsฤ al-Tarmidhฤซ, Sunan al-Tarmidhฤซ, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fi al-Rฤshฤซ wa al-Murtashฤซ fi al-แธคukm, Hadis ke-1342 Beirut Dar al-Fikr, 2005. 408. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. mempertimbangkan peraturan atau proses uji kelayakan. Hal ini merupakan upaya inkonstitusional yang terjadi di masa Muแธฅammad untuk mempertahankan atau untuk merebut kekuasaan sebagaimana tertulis dalam tekstualitas แธฅadฤซth ๎†ข๎ˆ€๎‡ผ๎ˆˆ๎†ฅ๎€ƒ๎†ข๎‡ธ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎‡ฎ๎‡ด๎…ญ๎‚ฆ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡Ÿ๎€ƒ.Nepotisme terjadi di tengah kondisi masyarakat suku Quraish yang saling bersaing dan bertikai untuk memperebutkan kekuasaan sehingga netralitas dan objektifitas untuk memilih pemimpin atau suatu kebijakan yang bersifat produktif, konstruktif, dan visioner diabaikan oleh upaya perekrutan jalur kekerabatan dan pertemanan dalam mengisi posisi kekuasaan dan dominasi permufakatan yang menguntungka pihak tertentu saja dari proses musyawarah yang telah dilakukan kolusi yang terjadi dalam penggambaran Hadis R3 ditandai dengan redaksi ๎‚ ๎†ข๎‡˜๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ atau ๎†ข๎‡‹๎‚ฐ. Kedua tindakan ini menuntut adanya kerjasama secara aktif dalam rangka menyalahi ketentuan, peraturan, dan hukum. Kedua tindakan ini berbanding sejajar dengan definisi kolusi yang berbunyi pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antar Penyelenggara Negara dan pihak lain Kata al-Aแนญฤโ€™u berarti gift atau present dalam bahasa Inggris yang dapat juga berarti โ€œpemberianโ€ dalam bahasa Indonesia. Kata ini merupakan bentuk tunggal dari al-Aโ€™แนญiyyah ๎€ƒ๎ƒ‰๎†จ๎„‹๎ˆˆ๎ƒŠ๎‡˜๎ƒŒ๎‡Ÿ๎ƒˆ๎ˆ‹๎‚ฆ. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Wrtten Arabic, Ed. J. Milton Cowan, Edisi Ketiga New York Spoken Language Services, 1971, 622. Andrew Hoctor, Nepotism & HRM Practices โ€“ How They Affect Player Satisfaction A Study of Clubs National College of Ireland, 2012, 11. L. Wong dan B. Klenier, Nepotism International Journal of Productivity and Performance Management, Vol. 3, No. 34 1994 10-19. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 240 yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau inilah yang menyebabkan redaksi ๎‚ ๎†ข๎‡˜๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ atau ๎†ข๎‡‹๎‚ฐ pada Hadis R3 mewakili dua dimensi intoleran-inkonsisten berupa nepotisme dan korupsi. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Istilah Suแธฅt Hadis S1 mengandung kecenderungan dan nuansa nepotisme. Hal ini didasarkan pada perbuatan meminta-minta yang dilarang kecuali tiga hal berupa beban, hutang, atau tanggungjawab ๎†จ๎‡ณ๎†ข๎ƒ‹๎‡ธ๎…ซ๎‚ฆ๎€ƒ ๎‡ฒ๎„Œ๎‡ธ๎…ข; bencana atau kecelakaan ๎†จ๎ƒˆ๎†ธ๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎†ณ; dan kebangkrutan atau kerugian ๎†จ๎ƒˆ๎‡ซ๎†ข๎‡ง. Perbuatan meminta-minta selain ketiga pengecualian tersebut di atas dikategorikan sebagai suแธฅt yang berarti barang yang tidak terjangkau ill-gotten property, kepemilikan ilegal illegal possession, perdagangan yang tidak sah unlawful trade, sesuatu yang terlarang something forbidden.Redaksi Hadis S1 yang membicarakan tentang perbuatan โ€œmeminta-mintaโ€ adalah kondisi dimana salah seorang muslim mengajukan permintaan pada Muแธฅammad. Permintaan seperti ini dapat terjalin Kolusi dalam aspek perdagangan didefinisikan sebagai hubungan antara penawar bidder yang membatasi persaingan dan merugikan pembeli publik. 24. Redaksi ๎†จ๎‡ณ๎†ข๎ƒ‹๎…ง didefinisikan oleh Muslim sebagai harta yang ditanggung manusia. Hal ini dimaksudkan bahwa seseorang yang menengadahkan tangannya dalam keadaan genting kemudian pihak atau lain mengulurkan tangannya atau memberi atau membayarkan pada peminta tersebut dengan kerelaan ๎€ƒ๎‚ฌ๎ˆ๎‡๎‚ค antara kedua belah pihak yang menunjukkan suatu jelas atau lugas ๎€ƒ๎‚ฉ๎‚ฆ๎‚ฏ๎…›๎†ฆ๎‡ณ๎‚ฆ . Abฤซ al-แธคusainฤซ ibn al-แธคajjฤjฤซ ibn al-Muslim al-Qusairiyyi al-Naisฤbลซriyy, แนขaแธฅฤซh Muslim, Cetakan Kedua Kerajaan Arab Saudi Dar al-Salฤm dan dengan adanya kesepakatan dan fungsi aktif dari pihak peminta dan pihak pemberi. Tindakan yang dimaksud dengan suแธฅt seperti ini juga tidak harus menanti kesepakatan dan kerjasama pihak peminta dan pemberi karena Muslim memberi keterangan bahwa tindakan ini adalah tindakan yang dilarang atau seperti ini tentu berpotensi untuk tidak hanya pada dirinya sendiri, namun juga pada pihak kekerabatan dan pertemanan dalam individu sosial yang berkaitan dan dekat dengan pihak peminta atau pihak yang melakukan suแธฅt. Hal inilah yang menyebabkan bahwa Hadis S1 lebih mendekati definisi nepotisme dibanding korupsi maupun kolusi dalam pendekatan kebahasaan. Hadis S2 yang berstatus แธฅasan gharฤซb ini cenderung bernuansa korupsi dan nepotisme. Hal ini didasarkan pada beberapa peristiwa sebelum pembahasan แนฃuht berupa para pemimpin yang intoleran dan indisipliner; pemebenaran kebohongan beserta konsekuensinya; dukungan ke-dzalim-an beserta konsekuensinya; perlawanan terhadap kebohongan dank e-dzalim-an beserta konsekuensinya; แนฃalฤt sebagai bukti kebenaran; puasa Kementerian Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Penerangan, April 2000 M. / Muharram 1421 H., 419, Rohi Baalbaki, al-Mawrฤซd, Cetakan Ketujuh Beirut Dar al-Ilm li al-Malฤyฤซn, 1995, 625. Abฤซ al-แธคusainฤซ ibn al-แธคajjฤjฤซ ibn al-Muslim al-Qusairiyyi al-Naisฤbลซriyy, แนขaแธฅฤซh Muslim, Cetakan Kedua Kerajaan Arab Saudi Dar al-Salฤm dan Kementerian Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Penerangan, April 2000 M./Muharram 1421 H., 420. Nur Achmad, Pencegahan Korupsi dalam Perspektif Hadis Studi Hadis Korupsi dalam Kutub al-Sittah, Tesis Jakarta Sekolah PAscasarjana Universitas Islam Syarif Hidayatullah, 2007, 119. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 241 sebagai pelindung kebenaran; dan sedekah sebagai penghapus kesalahan. Peristiwa-peristiwa tersebut diakhiri ungkapan bahwa anggota tubuh biologis yang eksis didasarkan pada indikasi suแธฅt mendapat perhatian berupa neraka sebagai responnya. Hal ini dapat dirujuk pada peristiwa-peristiwa yang mengawali sebelumnya bahwa Muแธฅammad telah meramalkan suatu masa yang sulit untuk membedakan kehalalan dan keharaman sesuatu yang dikonsumsi. Hal ini didasarkan pada kondisi pemerintahan di suatu daerah negara yang inkonsisten dan inkonstitusional. Solusi yang bersifat preventif dari Muแธฅammad adalah salat, puasa, dan zakat untuk mengontrolkedisiplinan mental, pikiran, dan tubuh dari makanan dan minuman yang dikonsumsi. Suatu yang telah dikonsumisi dan menjadi daging dapat dikategorikan sebagai makanan dan minuman yang memungkinkan untuk didapat dari hasil mengambil secara illegal berupa korupsi; dan persekongkolan untuk memperoleh suatu tujuan yang dapat dinikmati oleh diri pribadi dan rantai sosial terdekat berupa nepotisme. Hadis S2 ini tidak dapat dikategorikan sebagai kolusi karena substansi pemahaman dan definisi dari kolusi adalah permufakatan sosial dalam melawan hokum sebagai tindakan utama. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Istilah Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ Hadis BID 1 merupakan gambaran kondisi kolusi. Hadis dengan kualitas Ibn Mฤjah, Sunan, Kitฤb Tijฤrฤt, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a fฤซ al-Karฤhiyati al-Aimฤn fฤซ al-Syarฤโ€™ wa al-Baiโ€™, No. 2207, Cetakan Pertama Riyad Maktabatu al-Maโ€™ฤrif, 1417 H., 379-380. Bukhฤrฤซ, แนขahฤซh, Kitฤb al-Aแธฅkฤm, Bฤb Man Bฤyaโ€™a Rajulan Lฤ Yubฤyiโ€™uhu illฤ li al-Dunyฤ, No. 7212 , 1513. แนฃaแธฅฤซh ini menampilkan tiga peristiwa yang sosial yang berkaitan sebagai bentuk respon terhadap fakta kemanusiaan masa Muแธฅammad berupa apresiasi terhadap backpacker Ibn al-Sabฤซl, persekongkolan dan consensus dalam pengangkatan seseorang untuk menjadi pemimpin Baiโ€™atu al-Imฤm, dan duata dalam berniaga atau pertama merupakan manajemen sosial. Peristiwa kedua merupakan etika musyawarah-mufakat, etika kepemimpinan, tata kelola pemerintahan. Peristiwa ketiga merupakan etika bisnis. Ketiganya merupakan suatu interaksi kemanusiaan yang berkonotasi negatif. Ketiganya juga menyuguhkan perhatian pada peristiwa kedua berupa Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ. Redaksi Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ lebih mendekati pada konteks dan definisi kolusi yang menekankan adanya pemufakatan jahat untuk mengangkat seseorang sebagai pemimpin untuk kepentingan sesaat li al-Dunyฤ. Pengangkatan seseorang pemimpin tidak dapat dilandasi dari kepentingan kelompok tertentu. Hal ini di luar etika pemilihan pemimpin yang sewajarnya dipilih berdasarkan status kredibilitas dan otentisitas model peran etis calon pemimpin; kemampuan untuk peka terhadap isu terbaru yang penting; keberadaan iklim pemilihan yang mempertimbangkan sisi manajemen pribadi dan manajemen sosial dari calon pemimpin itu penting kedua yang lahir dari definisi korupsi adalah potensi atau Cristopher M. Barnes dan Lieutenant Colonel Joseph, What Does Contemporary Science Say about Ethical Leadership? The Army Ethic of Military Review, 2010, 90-91. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 242 penemuan kerugian bagi orang lain. Redaksi Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ dalam Hadis BID 1 dipastikan memiliki potensi yang merugikan bagi calon pemimpin lain secara langsung dan bagi rakyat atau pihak yang akan dipimpin secara tidak langsung. Hal ini terjadi karena adanya upaya untuk membungkam karakter pemimpin inilah yang menyebabkan istilah Baiโ€™at al-Imฤm li al-Dunyฤ dalam Hadis BID 1 tidak tepat disandingkan pada kondisi nepotisme yang menitik beratkan pada upaya memberi keuntungan pada diri sendiri, keluarga, sahabat, kelompok, dan pihak tertentu semata tanpa berupaya mengakomodasi banyak pihak secara komprehensif dan adil. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Istilah Jaur al-Qadฤซ aw al-Imฤm Hadis JQI 1 menyoroti fenomena perlawanan terhadap hukum dan kebodohan keteledoran atau kelalaian yang dilakukan oleh hakim sebagai bentuk kolusi dan nepotisme. Ibn Mฤjah menyatakan bahwa kualitas Hadis ini adalah yang memutuskan suatu perkara tanpa dilandasi peraturan dan hukum yang berlaku merupakan upaya Karakter pemimpin ideal yang tidak merugikan orang lain dan tidak didasarkan pada kepentingan sesaat li al-Dunyฤ dapat dilihat dari parameter nilai, sikap, kepercayaan, perilaku, kebiasaan dan praktik dan sampai batas tertentu tergantung pada budaya organisasi, profesional atau institusional. Katarina Katja Mihelic, Bogran Lipicnik, dan Metka Tekavcic, โ€œEthical Leadership,โ€ International Journal of Management & Information Systems, Vol. 14, No. 5 Fourth Quarter 2010 31-42 [32]. Abฤซ Abdillฤh Muแธฅammad ibn Yazฤซd al-Qazwฤซnฤซ Ibn Mฤjah, Sunan Ibn Mฤjah, Kitฤb al-Aแธฅkฤm, Bฤb al-แธคฤkimu Yajtahidu Fayuแนฃฤซbu al-Haq, Hadis Ke 2315 Riyad Maktabatu al-Maโ€™ฤrif, 1417 H., 396. perlawanan hukum secara sengaja dan berdampak pada kerugian yang dialami orang lain sebagaimana definisi kolusi yang hadir dari UU RI Tahun mendasar terkait kolusi adalah โ€œkerjasamaโ€ yang memiliki konotasi yang inilah yang menyebabkan bahwa perisitiwa perlawanan hukum dengan istilah Jaur al-Qฤแธฤซ aw al-Imฤm pada Hadis JQI 1 merupakan gambaran kolusi yang terjadi secara nyata pada masa Muแธฅammad. Kolusi yang dilakukan oleh aparat penegakan hukum dapat berdampak pada hilangnya infrastruktur dan layanan publik secara kualitas dan kelalaian atau keteledoran seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara merupakan tindakan ketidakadilan karena jabatan atau posisi tersebut menuntut adanya kemampuan dan kecakapan yang disyaratkan sebagai bentuk menjunjung objektifitas dalam rangka menyelenggarakan salah satu penerjemahan keadilan. Salah satu unsur yang perlu dipahami dari tindakan kelalaian adalah hakim yang tidak tahu dalam proses dan regulasi penyelesaian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. Patrick Andreoli-Versbach dan Fens-Uwe Franck, โ€œEconometric Evidence to Target Tacit Collusion in Oligopolistic Markets,โ€Journal of Competition Law & Economics, Vol 11, No. 2 July 2015 463-492 [464]. Global Forum on Competition, Policy Roundtables Collusion and Corruption in Public Procurement Organisation for Economic Co-operation and Development, 2010, 10. Mark Spranca, Elisa Minsk, dan Jonathan Baron, Omission and Commision in Judgment and Choice, Ed. Jon Haidt University of Pennsylvania, Augst 2003 [2]. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 243 masalah merupakan bentuk ketidakprofesionalan seseorang dalam berkarir. Hal ini dapat dipahami sebagai bentuk kolusi karena dianggap sebagai upaya melawan hukum yang berlaku; atau sebagai bentuk nepotisme karena ketidakkompetenan seorang hakim yang perlu dipertanyakan narasi sejarah perekrutan hakim tersebut. Sejarah perekrutan hakim yang tidak kompeten tentu memunculkan asumsi adanya nepotisme atau perekrutan yang didasarkan pada jalur kekerabatan dan bukan berdasarkan proses kompetisi yang objektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Redaksi Jaur al-Qฤแธฤซ aw al-Imฤm yang dilahirkan dari Hadis JQI 1 dengan peristiwa kesalahan putusan oleh hakim yang berdasarkan ketidakkompetenan atau kebodohannya ini dapat diasosiasikan sebagai bentuk lain dari nepotisme yang dilandasi subyektifitas asumsi dan ramalan Muแธฅammad akan adanya narasi genetik proses perekrutan hakim yang bernuansa nepotisme. Hadis JQI 2 memotret penyikapan spiritual dengan etika profesi yang menimbulkan dua kecondongan penafsiran berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hadis ini memiliki kualitas แธฅasan gharฤซb menurut Tirmizi atau แนฃaแธฅฤซh menurut hakim yang bertindak adil tanpa memihak pada subyektivitas tertentu dan tidak melanggar aturan hukum yang berlaku merupakan gambaran etika profesi yang didukung oleh pesan agama sebagaimana redaksi ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎ƒˆ๎…ธ๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒˆ๎…ƒ๎€ƒ๎†ข๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ˆ„๎ƒŠ๎‡“๎†ข๎‡ฌ๎ƒŒ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒˆ๎‡ž๎ƒˆ๎‡ท๎€ƒ๎ƒ‰๎‰ฆ JQI 2. Redaksi ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎ƒˆ๎…ธ yang berarti menyimpang adalah tindakan negatif Nur Achmad, Pencegahan Korupsi Perspektif Hadis Studi Hadis Korupsi dalam Kutub al-Sittah, Tesis Jakarta Sekolah yang tidak spesifik merujuk pada perbuatan tertentu, namun dapat diklasifikasikan berdasarkan kasus yang memungkinkan terjadi pada seorang hakim. Redaksi Jaur al-Qฤแธฤซ aw al-Imฤm sebagai istilah yang dimunculkan dari upaya penyimpangan atau ketidakadilan yang dibuktikan dengan redaksi ๎€ƒ๎ƒŒ๎‡‚๎ƒ‰๎ƒˆ๎…ธ seorang hakim dari Hadis ini dapat dikategorikan ke dalam tiga persoalan berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketidakadilan yang dilakukan seorang hakim dalam menjalankan profesinya yang melibatkan hubungan kerjasama untuk melawan hukum yang berlaku merupakan potret kolusi. Ketidakadilan dalam mereduksi atau mengeliminasi pertimbangan yang dijadikan dasar untuk memutuskan suatu perkara merupakan upaya korupsi dari seorang hakim. Upaya untuk memenangkan atau membijaki suatu permasalahan yang melibatkan rekan atau keluarga dari hakim merupakan tindakan subyektif untuk menguntungkan jalinan sosial terdekat secara sepihak. Hal ini merupakan upaya nepotisme. Hadis JQI 3 dapat dikategorikan sebagai Hadis yang memiliki kecenderungan dan nuansa pada korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kecenderungan tersebut didasarkan pada redaksi umum yang dihadirkan berupa ๎€ƒ๎ƒ‡๎‡‚๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ๎ƒ‡๎ƒŒ๎…š๎ƒŠ๎‡ท๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒˆ๎‚ข๎€ƒ๎ƒ‡๎‡‚๎ƒŠ๎†Ÿ๎†ข๎ƒˆ๎†ณ๎€ƒ๎ƒ‡๎ƒ€๎†ข๎ƒˆ๎‡˜๎ƒŒ๎‡ด๎ƒ‰๎‡‡. Redaksi ini didasarkan pada ketidakadilan yang perlu dituntut oleh siapapun. Penyimpangan yang dilakukan oleh seorang pemimpin dapat didasarkan pada dua hal yaitu kesengajaan dan politis; dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2007, 121. Human Right Watch, They Want Us Exterminated Murder, Torture, Sexual KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 244 Unsur kesengajaan yang dilakukan pemimpin yang berbuat tidak adil dapat dikategorikan sebagai gambaran korupsi yang terjadi pada masa Muแธฅammad dalam hal administrasi, birokrasi, dan keuangan. Unsur politis yang dilakukan pemimpin dalam pemimpin untuk tidak mendistribusikan keadilan secara merata dan terkesan subyektif dapat dikategorikan sebagai upaya nepotisme karena hal ini dilakukan untuk keuntungan dan kepentingan yang dapat dinikmati oleh pihak tertentu semata tanpa mempertimbangkan asas akomodasi dan kemerataan. Unsur kesewenang-wenangan yang dilakukan seorang pemimpin yang tidak adil di masa nabi dapat pahami dengan mempertimbangkan kemungkinan keberadaan upaya pemanfaatan jabatan dan pangkat tertentu untuk berkomunikasi dan atau bekerjasama antara sesama elemen pemerintahan atau di luar elemen pemerintahan untuk untuk melemahkan atau merekayasa suatu aturan atau produk hukum yang telah ada dan berlaku. Hal inilah yang menyebabkan pemimpin yang menyeleweng dapat dikategorikan sebagai bentuk kolusi. Pembenaran agama dengan menginstruksikan untuk memberi peringatan pada pemimpin yang melanggar atau menyeleweng sebagai bentuk kebebasan berpendapat yang dibuktikan dengan redaksi ๎‚ข๎€ƒ๎ƒŠ๎ƒŒ๎…ช๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ‰๎‡ฒ๎ƒˆ๎‡”๎ƒŒ๎‡ง๎€ƒ๎ƒ‰๎†จ๎ƒˆ๎‡ธ๎ƒŠ๎‡ด๎ƒˆ๎‡ฏ๎€ƒ๎ƒŠ๎‚ฎ๎†ข๎ƒˆ๎ˆ€๎€ƒ๎ƒ‡๎‚พ๎ƒŒ๎†พ๎ƒˆ๎‡Ÿ. Perhatian agama terhadap indikasi kontra komitmen pada diri pemimpin juga dapat diasumsikan Orientation and Gender in Iraq New York 2009, 35. Human Right Watch, They Want Us Exterminated Murder, Torture, Sexual Orientation and Gender in Iraq New York 2009, 35. sebagai bentuk hilangnya cita-cita moral yang disebabkan oleh politik, kepentingan pribadi, dan JQI 4 menunjukkan inkonsistensi seorang pemimpin yag digambarkan dalam redaksi ๎‡‚๎†Ÿ๎†ข๎†ณ๎€ƒ ๎‚ฟ๎†ข๎‡ท๎‚ค dengan definisi โ€œpemimpin yang menyimpangโ€ menyisakan penalaran dan penafsiran yang beragam. Keberagaman pemahaman terkait โ€œmenyimpangโ€ dapat dikategorikan salah satu dari atau keseluruhan dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Indikasi yang muncul untuk memahami redaksi ๎‡‚๎†Ÿ๎†ข๎†ณ jฤir adalah dengan merujuk pada redaksi sebelumnya yang berbunyi ๎‚พ๎‚ฎ๎†ข๎‡Ÿ ฤdil. Hal ini menyebabkan definisi jฤir sebagai antonim dari ฤdil. Ketidakadilan dalam banyak kasus dapat dipahami sebagai bentuk pelanggaran yang tidak terbatas pada korupsi, kolusi, dan nepotisme. HadisJQI 5 merupakan potret kolusi yang kerap terjadi dalam ranah akademik. Konspirasi dalam mengangkat pemimpin yang tidak memiliki kompetensi akademik yang memadai dalam bidang dan institusi karirnya๎€ƒtercermin dalam ๎€ƒ๎†ข๎ƒ…๎‡‡๎ƒŒ๎ƒ‚๎ƒ‰๎‚ฃ๎ƒ‰๎‚ฐ๎€ƒ ๎ƒ‰๎‚ฒ๎†ข๎„‹๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡€๎ƒˆ๎„‹๎…ฃ๎‚ฆ๎€ƒ๎ƒ…๎ˆ๎†ข๎„‹๎ˆ€๎ƒ‰๎†ณ.Refleksi แธฅadฤซth ini menyarankan untuk tidak memilih rektor, kepala sekolah, kyai, kepala jurusan, guru, dan sebagainya tanpa dilandasi bekal keilmuan yang mumpuni secara implisit. Sejarah kemunculan แธฅadฤซth ini diawali dari konteks upaya antisipasi nabi Muแธฅammad dalam menginstruksikan pengikutnya untuk belajar dari sumber terupdate. Konteks akademik dapat dilihat dari redaksi ๎‡ถ๎‡ด๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ dan beragam derivasinya, ๎†ข๎‡‡๎ƒ‚๎‚ฃ๎‚ฐ, dan ๎ˆ๎†ข๎ˆ€๎†ณ. JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 245 Ke-update-an suatu sumber keilmuan dalam disiplin manajemen sosial dan konflik berupa al-Qurโ€™ฤn yang sering dikutip Nabi merupakan suatu rujukan yang lebih relevan dan lebih komprehensif dibanding rujukan yang berasal dari muแนฃแธฅaf yang dipercaya pengikut dari komunitas Yahudi maupun Penelitian ini menunjukkan bahwa empat belas hadis yang tertera sebelumnya dengan istilah khusus dari masing-masing hadis tersebut tidak dapat diasosiasikan ke dalam salah satu dari tindakan intoleran-inkonsisten berupa korupsi, kolusi, atau nepotisme semata. Kemungkinan istilah khusus yang hadir setiap hadis pun dapat diasosiasikan pada korupsi, kolusi, dan nepotisme secara sekaligus. Hal ini juga berbanding lurus dengan upaya melihat nuansa dan kadar korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa Muแธฅammad yang ditentukan dari asosiasi setiap istilah yang hadir dari setiap แธฅadฤซth. DAFTAR PUSTAKA Abลซ Dฤwลซd, Sunan. Achmad, Nur. Pencegahan Korupsi dalam Perspektif แธคadฤซth Studi แธคadฤซth Korupsi dalam Kutub al-Sittah, Tesis Jakarta Sekolah Asbฤb al-Nuzลซl Hadis ini adalah ๎€ƒ๎‚ฟ๎†ข๎‡ท๎ˆ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡พ๎†ณ๎‡‚๎†ป๎‚ฆ๎†จ๎‡ท๎†ข๎‡ท๎‚ฆ๎€ƒ๎„บ๎‚ฆ๎€ƒ๎†ฎ๎ˆ‡๎†พ๎†ท๎€ƒ๎‡บ๎‡ท๎€ƒ๎…ˆ๎‚ฆ๎…๎‡˜๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚๎€ƒ๎†พ๎…ง๎‚ฆ๎€ƒ๎€ƒ๎ˆ„๎‡ด๎‡ ๎‡๎€ƒ๎…“๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‚ธ๎‚ฆ๎‚ฎ๎ˆ‚๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎†จ๎†ด๎†ท๎€ƒ๎„ฟ๎€ƒ๎ƒ€๎†ข๎‡ฏ๎€ƒ๎†ข๎…ญ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ซ๎€ƒ๎‚ช๎ˆ๎†ฏ๎€ƒ๎‡พ๎†ฌ๎‡ด๎…ง๎€ƒ๎‚ง๎†ข๎‡ฟ๎‚ฏ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ด๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚ง๎†ข๎‡ฟ๎‚ฏ๎€ƒ๎ƒ€๎‚ฆ๎€ƒ๎ˆ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎‡ž๎‡ง๎‡‚๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒ‚๎‚ฆ๎€ƒ ๎ƒˆ๎‡’๎ƒŠ๎†ฆ๎ƒŒ๎‡ฌ๎ƒˆ๎‚บ๎ˆ‡๎€ƒ๎ƒ€๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ฒ๎†ฆ๎‡ซ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ด๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‚ฆ๎ƒ‚๎‡€๎†ป๎‚ฆ๎€ƒ๎Šญ๎‡‚๎ˆ€๎‡›๎‚ฆ๎€ƒ๎…›๎†ฅ๎ƒ‚๎€ƒ๎†ข๎‡ผ๎‡ท๎€ƒ๎‡ถ๎‡ด๎‡ ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ž๎‡ง๎‡‚๎ˆ‡๎€ƒ๎‡ฆ๎ˆˆ๎‡ฏ๎€ƒ๎‰ฆ๎€ƒ๎…“๎‡ป๎€ƒ๎Šฎ๎€ƒ๎‡พ๎‡ผ๎‡Ÿ๎€ƒ๎†จ๎ˆ‡๎‚ฆ๎ƒ‚๎‚ฐ๎€ƒ๎„ฟ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚ฉ๎‚ฆ๎‡‚๎‡ท๎€ƒ๎†ข๎‡ผ๎‡ธ๎‡ด๎‡ ๎†ซ๎€ƒ๎†พ๎‡ซ๎ƒ‚๎€ƒ๎‡ฆ๎†ท๎†ข๎‡๎…ญ๎€ƒ๎‡ฝ๎‡€๎‡ฟ๎€ƒ๎‚พ๎†ข๎‡ฌ๎‡ง๎€ƒ๎†ค๎‡”๎‡ค๎‡ท๎€ƒ๎ˆ‚๎‡ฟ๎ƒ‚๎€ƒ๎‡พ๎‡‡๎‚ข๎‚ฐ๎€ƒ๎‡พ๎ˆˆ๎‡ณ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ž๎‡ง๎‡‚๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎‡ผ๎‡ท๎†พ๎†ป๎ƒ‚๎€ƒ๎Šญ๎‚ ๎†ข๎‡ˆ๎‡ป๎ƒ‚๎€ƒ๎Šญ๎‚ ๎†ข๎‡ผ๎†ฅ๎‚ฆ๎€ƒ๎†ข๎‡ฟ๎†ข๎‡ผ๎‡ธ๎‡ด๎‡Ÿ๎ƒ‚๎€ƒ๎‡พ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎‡ท๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฟ๎‚ ๎†ข๎ˆˆ๎†ฆ๎‡ป๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฟ๎‚ ๎†ข๎†ณ๎€ƒ๎†ข๎‡ธ๎ˆˆ๎‡ง๎€ƒ๎†ข๎ˆ€๎‡ผ๎‡ท๎€ƒ๎‚ฆ๎ˆ‚๎‡ธ๎‡ด๎‡ ๎†ฌ๎ˆ‡๎€ƒ๎…ƒ๎€ƒ๎‡ฆ๎†ท๎†ข๎‡๎…ญ๎‚ฆ๎€ƒ๎‡ถ๎‡ฟ๎‡‚๎ˆ€๎‡›๎‚ฆ๎€ƒ๎…›๎†ฅ๎€ƒ๎ƒƒ๎‚ฐ๎†ข๎‡๎‡ผ๎‡ณ๎‚ฆ๎ƒ‚๎€ƒ๎‚ฎ๎ˆ‚๎ˆ€๎ˆˆ๎‡ณ๎‚ฆ PAscasarjana Universitas Islam Syarif Hidayatullah, 2007. al-Naisฤbลซriyy, Abฤซ al-แธคusainฤซ ibn al-แธคajjฤjฤซ ibn al-Muslim al-Qusairiyyi. แนขaแธฅฤซh Muslim, Cetakan Kedua Kerajaan Arab Saudi Dar al-Salฤm dan Kementerian Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Penerangan, April 2000 M. / Muharram 1421 H.. al-Qazwฤซnฤซ, Abฤซ Abdillฤh Muแธฅammad ibn Yazฤซd Ibn Mฤjah, Sunan Ibn Mฤjah Riyad Maktabatu al-Maโ€™ฤrif, 1417 H.. Al-Sayyid al-Sharฤซf al-Allฤmah al-Muแธฅaddith al-Sayyid Ibrฤhฤซm ibn al-Sayyid Muhammad ibn al-Sayyid Kamฤluddin Naqฤซb Miแนฃr ibn Hamzah al-แธคusaini al-แธคanafi al-Damshiqi, Kitฤb al-Bayฤn wa al-Taโ€™rฤซf fฤซ Asbฤb Wurลซd al-แธคadฤซth al-Sharฤซf al-Bahฤโ€™ Tijฤh Dฤr al-แธคukลซmah, 1329. Andreoli-Versbach, Patrick., dan Franck, Fens-Uwe July 2015. โ€œEconometric Evidence to Target Tacit Collusion in Oligopolistic Markets,โ€Journal of Competition Law & Economics, Vol 11, No. 2 463-492. Anwar, Syamsul. Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah Jakarta Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2006. Baalbaki, Rohi. al-Mawrฤซd, Cetakan Ketujuh Beirut Dar al-Ilm li al-Malฤyฤซn, 1995. Barnes, Cristopher M., dan Lieutenant Colonel Joseph, What Does Contemporary Science Say about Al-Sayyid al-Sharฤซf al-Allฤmah al-Muแธฅaddith al-Sayyid Ibrฤhฤซm ibn al-Sayyid Muhammad ibn al-Sayyid Kamฤluddin Naqฤซb Miแนฃr ibn Hamzah al-แธคusaini al-แธคanafi al-Damshiqi, Kitฤb al-Bayฤn wa al-Taโ€™rฤซf fฤซ Asbฤb Wurลซd al-Hadis al-Sharฤซf al-Bahฤโ€™ Tijฤh Dฤr al-แธคukลซmah, 1329, 187. KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS - Teguh Luhuringbudi 246 Ethical Leadership? The Army Ethic of Military Review, 2010 Begovic, Boris. Corruption Concepts, Types, Causes, and Consequences Center for International Private Enterprise Economic Reform Feature Service, 2005. Bukhฤrฤซ, Kitฤb al-Shahฤdฤt, Bฤb al-Yamฤซn baโ€™da al-Aแนฃri, no. 2672, h. 486-487. Global Forum on Competition, Policy Roundtables Collusion and Corruption in Public Procurement Organisation for Economic Co-operation and Development, 2010. Haller, Dieter., dan Cris Shore Ed, Corruption Anthropological Perspective London Pluto Press, 2005. Hoctor, Andrew. Nepotism & HRM Practices โ€“ How They Affect Player Satisfaction A Study of Clubs National College of Ireland, 2012. Human Right Watch, They Want Us Exterminated Murder, Torture, Sexual Orientation and Gender in Iraq New York 2009. Luhuringbudi, Teguh. Analisa Pengaruh al-Qawฤid al-Uแนฃลซliyyah dan al-Fiqhiyyah terhadap Perbedaan Pendapat dalam Fiqih Kasus Hukuman untuk Tindak Pidana Korupsi, Makalah Matakuliah Islamic Law Jakarta Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2016. Masyhur, Laila Sari Januari 2011. โ€œStudi Analitik Hadits Penyalahgunaan Fungsi Jabatan Kasus Ibnu Lutbiah,โ€Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII, No. 1 98-114. Mihelic, Katarina Katja., Lipicnik, Bogran., dan Tekavcic, Metka Fourth Quarter 2010. โ€œEthical Leadership,โ€ International Journal of Management & Information Systems, Vol. 14, No. 5 31-42. Muแธฅammad Nฤแนฃir al-Dฤซn ibn al-แธคฤj Nลซh al-Albฤni, Al-Shaikh. แนขahฤซh al-Targhฤซb wa al-Tarhฤซb, Juz 2 30. Nasฤโ€™ฤซ, Sunan, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Farแธ al-Wuแธลซโ€™, no 139, h. 31. Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 5 Ayat 2. Shuabi, Azmi. Elements of Corruption in th eMiddle East and North Africa The Palestinian Case, disampaikan pada 9th International Anti-Corruption Conference IACC, 10-15 October, 1999, Durban, South Africa. Spranca, Mark., Minsk, Elisa., dan Baron, Jonathan. Omission and Commision in Judgment and Choice, Ed. Jon Haidt University of Pennsylvania, Augst 2003. Sundell, Anders. Nepotism and Meritocracy, QoG Working Paper Series Gothenburg The Quality of Government Institute, 2014. The OECD Global Forum on Competition, Collusion and Corruption in Public Procurement 2010. Tirmiแบ“ฤซ, Sunan, Kitฤb al-แนฌahฤrah, Bฤb Mฤ Jฤโ€™a Lฤ Tuqbalu al-แนขalฤt bi Gairi แนฌahลซr, no. 1, h. 9. Treisman, Daniel 2000. โ€œThe Causes of Corruption A Cross-national Study,โ€ Journal of Public Economics, 76 399-457. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang JURNAL AQLAM - Journal of Islam and Plurality - Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 247 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Bab III Kewenangan, Pasal 6, Butir C. Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Wrtten Arabic, Ed. J. Milton Cowan, Edisi Ketiga New York Spoken Language Services, 1971. Wong, L., dan Klenier, B. 1994. Nepotism International Journal of Productivity and Performance Management, Vol. 3, No. 34 10-19. ... 2 Dari perspektif agama. Diatara penelitian dari perspektif agama ini ditulis oleh Syafiin Mansur, Mansur, 2016 Firmansyah, Firmansyah, 2017 Vivi Ariyanti Ariyanti, 2015, Teguh Luhuring Budi dan Achmad Yani, Budi & Yani, 2018 Fazzan,Fazzan, 2015 Arini Indika Arifin, Arifin, 2020 Hermawan. Hermawan, 2018 Lain dari berbagai jenis penelitian di atas kajian ini akan mencoba menelaah hubungan agama dan perilaku korupsi dari filsafat; secara spesifik akan dibahas dari perspektif teori worldview. ...Khasib Amrullah Usmanul KhakimHaryanto HaryantoListriana ListrianaIt is undeniable that corruption has become a serious problem for the state of Indonesia. Academic attention to the corruption cannot be underestimated; in which many research reports on corruption are published in scientific journals; which generally look from the perspective of the standing law or religion. Different from these studies, this study will try to examine the concept of corruption from a philosophical point of view through the philosophical theory that has become popular recently worldview theory. Worldview itself is understood as a belief system that guides human life; which can be used as a framework in reading the facts of corruption. This study is expected to be able to provide an explanation of the fundamental structure of the concept of corruption and compile the elements of an Islamic worldview needed in anti-corruption education. This research is library research; data obtained from books, papers and other documentation. The data analysis technique uses the contain analysis method, which is trying to interpret what is written in the text. In addition, comparative analysis will also be used between one text and another. The results of this study are First, in the Islamic worldview the concept of corruption is closely related to metaphysical concepts such as the concept of God, Sharia God's rules, sin, the afterlife, reckoning hisab, retribution; while still affirming concepts in the worldly dimension such as the concept of the state, property, law and justice. Second, these concepts should be included in anti-corruption Dan Nepotisme Perspektif Hadits-Teguh Luhuringbudi PascasarjanaKORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS-Teguh Luhuringbudi PAscasarjana Universitas Islam Syarif Hidayatullah, 2007.What Does Contemporary Science Say aboutCristopher M BarnesJosephBarnes, Cristopher M., dan Lieutenant Colonel Joseph, What Does Contemporary Science Say aboutL WongB Dan KlenierWong, L., dan Klenier, B. 1994. Nepotism International Journal of Productivity and Performance Management, Vol. 3, No. 34 Evidence to Target Tacit Collusion in Oligopolistic MarketsDari KorupsiDan KolusiNepotismeUndang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. 53 Patrick Andreoli-Versbach dan Fens-Uwe Franck, "Econometric Evidence to Target Tacit Collusion in Oligopolistic Markets,"Journal of Competition Law & Economics, Vol 11, No. 2 July 2015 463-492 [464].Rohi BaalbakiBaalbaki, Rohi. al-Mawrฤซd, Cetakan Ketujuh Beirut Dar al-'Ilm li al-Malฤyฤซn, 1995. Korporatokrasiadalah jaringan yang bertujuan memetik laba melalui cara-cara korupsi, kolusi, dan Nepotisme ( KKN ) dari negara-negara dunia ke tiga, termasuk Indonesia. sehingga sejak dini generasi-generasi muda di negara ini telah terlatih secara teori dan empirik terhadap bahaya laten Korporatokrasi yang terjadi pada setiap daerah - Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN menjadi salah satu masalah di Indonesia yang belum terselesaikan. Dengan adanya TAP MPR - Nomor XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pemerintah kemudian menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mengatur tindak KKN tersebut. Beberapa undang-undang tersebut yakni1. Undang- undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Halaman Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; 2. Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tatacara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1999 tentang Persyaratan dan Tatacara Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1999 tentang Tatacara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Fungsi dan Wewenang Komisi Pemeriksa; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tatacara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. Tujuan pemerintah menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari tindak penyelewengan kekuasaan. Dengan demikian, aparatur negara mampu menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya dengan penuh tanggung Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Sedangkan Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Sementara Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan KKN Contoh penanganan kasus KKN yakni pada masa pemerintahan presiden Soeharto. Tindakan ini berdasarkan atas TAP MPR-RI No. XI/MPR/1998. Dua kasus KKN yang disorot pada masa itu adalah yayasan-yayasan yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dan kebijaksanaan mobil nasional. Terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang terhadap dua kasus tersebut. Berbagai upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya KKN di masa depan mengutip dari Buku Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme dari Perekonomian Nasional, yaitu. 1. Memperkuat sarana dan prasarana hukum, dapat ditempuh melalui cara berikut. Pembuatan Peraturan Perundangan Baru; Penyempurnaan/Pencabutan Peraturan Perundangan; Peraturan Perundangan Lain Yang Mendukung Upaya Penghapusan KKN. 2. Penyempurnaan Kelembagaan Penegak Hukum Seorang pejabat negara harus mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik dan mampu mengembangkan manusia secara luas serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan. Dalam penegakkan hukum harus dibarengi dengan rasa kemanusiaan, agar menghindari adanya diskriminasi hukum bagi rakyat bawah. 3. Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat Setiap warga negara dapat menyuarakan pendapatnya terhadap sebuah keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Langkah ini dapat diambil ketika masyarakat ikut serta dalam kegiatan pemilu. Sehingga tindakan KKN dapat diminimalisir dengan adanya peran serta masyarakat secara langsung. 4. Peningkatan Pelayanan Masyarakat Pemerataan pelayanan secara adil dengan tidak membedakan status dan golongan dapat menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara. Transparansi pelayanan masyarakat dibutuhkan agar lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. 5. Peningkatan Kesejahteraan PNS, Poiri, dan TNI Upaya penanggulangan KKN dengan cara menaikkan gaji pejabat atau aparatur negara hanyalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya kejahatan korupsi. Karena KKN akan tetap terjadi apabila kepribadian dari pejabat negara masih buruk. Dalam hal ini penting adanya pendekatan moralistis, nilai-nilai dan keyakinan dalam ajaran juga Mengenal Program KKN Tematik Covid-19 dan Cerita Relawan KKN Ekonomi Indonesia 1989-1996 Berjaya tapi Labil dan Penuh KKN - Sosial Budaya Kontributor Chyntia Dyah RahmadhaniPenulis Chyntia Dyah RahmadhaniEditor Yantina Debora APAITU KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME. November 08, 2018 KKN adalah suatu tindakan yang sangat merugikan bagi setiap kalangan masyarakat dan negara., dikarenakan KKN hanya menguntungkan suatu pihak tertentu yang memiliki kekuasaan berlebih sehingga orang-orang kecil dan jujur akan dirugikan. Oleh karena setiap hal yang berhubungan dengan
๏ปฟLaten tidak terlihat...Jadi, korupsi, kolusi, nepotisme itu gak terlihat tapi terjadi sangat parah...Kita sebut itu rahasia umum... rahasia yang udah diketahui masyarakat berlangsung secara terus menerus disini tertulis merugikan masyarakat/ berlangsung secara terus menerus. menurut anda mana yang paling tepat?
Salahsatu kelemahan dari konvensi ini adalah hanya mengatur apa yang disebut dengan mahasiswa dapat mengetahui bahaya laten korupsi bagi masa depan bangsa. Undang No.28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan neara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Undang - Undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana 0% found this document useful 2 votes2K views11 pagesDescriptionThanks atas kunjungan... salam UPBCopyrightยฉ ยฉ All Rights ReservedAvailable FormatsDOC, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 2 votes2K views11 pagesARTIKEL Dampak Korupsi, Kolusi Dan NepotismeJump to Page You are on page 1of 11 You're Reading a Free Preview Pages 6 to 10 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. suKWzK. 311 466 160 140 51 340 139 124 124

korupsi kolusi dan nepotisme disebut bahaya laten karena